Surabaya, MercuryFM- Jelang akhir masa jabatan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Timur berharap dukungan DPRD provinsi ikut mendorong revisi Undang Undang nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang saat ini segera dibahas dan disahkan oleh DPR RI.
Mengingat, UU Penyiaran yang berlaku saat ini sudah tidak mampu mengakomodir tantangan yang ada sehingga lembaga penyiaran kondisinya sangat memprihatinkan akibat kurangnya rasa keadilan
“Kami ingin mendorong DPRD Jatim bersama sama stakeholder terkait dan masyarakat untuk menyuarakan kebutuhan melakukan revisi UU Penyiaran. Terutama dalam konteks mengatur dan memberikan rasa keadilan pada semua media apa pun platformnya,” ujar Afif Amrullah komisioner KPID Jatim saat menggelar diskusi bersama Pkkja waratwan DPRD Jatim dan sekretariat DPRD Jatim, Senin (30/12/24).
Mantan ketua KPID Jatim periode sebelumnya itu menjelaskan bahwa bentuk ketidakadilan itu sangat mencolok karena media (lembaga penyiaran) mainstream dikenakan aturan yang sangat ketat, mulai harus berizin, kemudian diawasi dengan ketentuan yang sangat detail hingga diwajibkan membayar pajak.
Sebaliknya, media non mainsteam yang multi platform tidak harus izin, isinya (konten) bebas tanpa kode etik dan sanksi hingga tidak ada pemasukan bagi negara padahal keuntungan mereka sangat besar.
“Dengan adanya revisi UU Penyiaran yang baru nanti, kita berharap ada keadilan perlakuan negara kepada semua media apapun platformnya. Sehingga bisa diatur sedemikian rupa dan orientasi utamanya adalah bagaimana bisa memberikan manfaat dan menghindarkan masyarakat dari hal hal yang negatif yang muncul dari media non mainstream,” tegas Afif.
Hal yang sama juga dikatakan, Ketua KPID Jawa Timur Immanuel Yosua Tjiptosoewarno yang menekankan bahwa revisi UU Penyiaran di Indonesia sangat diperlukan guna menjawab keberadaan media sosial yang begitu bebas dangan menyajikan konten kontennya, yang itu tidak diatur.
“Imbasnya mereka dengan bebas menampilkan konten yang kadang kala berupa hoax yang meresahkan dan tidka ada tindakan. Beda dengan media mainstrem yang bila melakukan kesalaham bisa di tindak karena ada undang undang yang mengiringi,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya lembaga negara juga perlu dibuatkan pedoman terkait penggunaan media sosial sehingga eksistensi lembaga penyiaran bisa dipertahankan.
“Jika tidak maka eksistensi lembaga penyiaran tinggal menunggu waktu menjadi catatan sejarah,” kelakar pria murah senyum ini.
Masih di tempat yang sama, Eka komisioner KPID Jatim lainnya menyatakan bahwa pihaknya beberapa waktu lalu sempat menggelar monev terhadap 350 lebih lembaga penyiaran di seluruh Jatim selama empat hari secara daring.
“Kami mendegarkan keluhan lembaga penyiaran di Jatim hampir sama yakni hidup segan mati tak mau, itulah kondisi yang mereka hadapi, ditengah gempuran Media Sosial,” ujarnya.
“KPID ingin terus mendampingi mereka bahkan bekerjasama dengan berbagai pihak untuk menutupi keterbatasan anggaran untuk peningkatan SDM lembaga penyiaran,” jelas perempuan berjilbab ini.
Sementara itu, Sekwan DPRD Jatim Ali Kuncoro menyambut positif masukan dari KPID Jatim, mengingat pemberitaan itu hal yang penting.
“Namun berita berita itu harus benar bisa di pertanggung jawabkan. Dan yang bisa melakukan ini media media mainstream,” ujarnya.
Ali mengakui peran media sosial yang sangat mendominasi. Sehingga ini menjadi tantangan pula bagi media mainstream.
“Karena itu, mainset media kedepan harus bisa menjadi kebutuhan positif bagi masyarakat dan menghindari bias informasi dengan mengedepankan data yang akurat, valid, tepat, benar dan tentu menjunjung tinggi kode etik jurnalistik,” tegasnya. (ari)