Komisi A DPRD Jatim mendukung wacana Presiden Prabowo, pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD

Surabaya, MercuryFM- Wacana Pemiliham Kepala Daerah (Pilkada) dikembalikan ke DPRD kembali muncul. Tidak tanggung-tanggung wacana itu langsung di lontarkan Presiden Prabowo Subianto.

Menurut Prabowo, pilkada langsung yang saat ini diterapkan terlalu menghabiskan anggaran, bahkan hingga triliunan rupiah.

“Sistem ini, berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing,” ujar Prabowo dalam sambutannya pada acara puncak Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Kamis (12/12/24) kemarin.

Menanggapi hal ini, Anggota Komisi A DPRD Jawa Timur Freddy Poernomo mengatakan bahwa tahun 2018 Komisi A DPRD Jatim yang saat itu diketuainya, pernah membuat rekomendasi yang isinya sama dengan yang diucapkan Presiden Prabowo Subianto.

“Jadi isinya karena Gubernur selain kepala daerah dan kepanjangan dari pemerintah pusat di daerah, tentu dalam hal pengawasan dan pembinaan pemerintahan Kabupaten/Kota, Gubernur juga tidak memiliki wilayah otoritas, maka Pilgub kembali dipilih DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota,” ujar Freddy ketika dikonfirmasi melalui telpon genggamnya, Sabtu (14/12/24).

Menurut politisi senior Partai Golkar ini  rekomendasi telah diteruskan pimpinan DPRD Jatim dan Gubernur Jatim saat itu ke Mendagri, Pimpinan DPR RI dan Komisi II DPR RI.

“Rekomendasi ini menindaklanjuti hasil penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) tentang Forum Diskusi Kelompok Terfokus Membangun Budaya Politik Santun Berbasis Nilai-Nilai Pancasila Di Jawa Timur,  Senin 5 Maret 2018 di Ruang Rapat Badan Musyawarah DPRD Provinsi Jawa Timur, dengan Keynote Speaker Gubernur Jawa Timur, Soekarwo,” jelasnya.

“Dari hasil FGD tersebut terdapat beberapa kesimpulan.  Pertama, penyelenggaraan sistem demokrasi liberal sangat mahal yang membawa implikasi pada hilangnya keteladanan karena para peserta harus mengeluarkan dana yang sangat besar yang setelahnya mengarah pada tindakan koruptif dan tindakan lain yang tidak terpuji,” lanjutnya.

Yang kedua, kata Freddy, problem yang dihadapi dalam pilkada serentak tidak berdiri sendiri, melainkan dalam satu setting politik makro yang ditentukan oleh sistem pemilu yang liberal yang melahirkan satu medan politik yang pragmatis, dimana berbagai kekuatan elit politik, kaum intelektual, dan kelompok kapital secara bersama-sama bermain untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok.

“Ketiga. peran kekuatan intelektual pragmatis yang menawarkan strategi melakukan pemenangan yang menggunakan strategi populisme SARA, yang menyisir mereka yang rawan turut berkontribusi terhadap lahir dan membesarnya ancaman terhadap keutuhan hidup berbangsa dan bernegara,” terangnya

Dari kesimpulan itu, lanjut Freddy, rekomendasi pertama, harus dilakukan kaji ulang terhadap sistem Pemilu yang berlangsung sejak refomasi 1998 sampai sekarang.

“Berdasarkan kajian ini, perlu dilakukan reformasi sistem Pemilu yang sekarang, dan seraya dengan itu, disusun suatu sistem Pemilu yang lebih sesuai dengan nilai-nilai dan spirit budaya bangsa Indonesia dan Pancasila,” katanya.

Kedua, lanjutnya, harus dilakukan sinergitas kekuatan-kekuatan masyarakat yang menjadi elemen partai dengan kekuatan intelektual yang memiliki visi kebangsaan, berkolaborasi dengan aparat hukum dan keamanan, dalam rangka mencari sistem pemilu alternatif yang lebih sejalan dengan nilai-nilai dan spirit pancasila.

“Dan rekomendasi ketiga adalah dengan melibatkan elemen bangsa yang memiliki spirit nasionalisme dan memahami substansi Pancasila. Pemerintah harus mencegah kekuatan – kekuatan politik yang menggunakan strategi populisme bermuatan SARA untuk memasuki gelanggang Pilkada yang terlanjur liberal dan pragmatis ini,” pungkasnya. (ari)

 

 

 

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement

Visual Radio

Add New Playlist