Sidoarjo, MercuryFM – Nahdlatul Ulama (NU) ormas Islam terbesar di Indonesia, menggelar hajatan besar di tanggal 16 Rajab 1444 Hijriah yang bertepatan jatuh pada tanggal 7 Februari 2023, berupa hari kelahiran (Harlah) Satu Abad NU. Nahdlatul Ulama yang jika diartikan secara harfiah adalah “Kebangkitan Para Ulama”, didirikan di Kota Surabaya pada 16 Rajab 1344 Hijriah (31 Januari 1926) oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan sokongan dari para ulama Islam berlatar belakang tradisionalis pesantren.
Puncak resepsi Satu Abad NU digelar di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, pada Selasa (7/2/2023) pukul 00.00 WIB hingga 24 jam kemudian. Berbagai agenda kegiatan mulai dari yang bersifat ritual, yang bersifat seremonial yang dihadiri Presiden RI, Joko Widodo, hingga panggung seni hiburan. Termasuk kegiatan-kegiatan pra puncak resepsi yang sudah diselenggarakan, sebagai satu rangkaian panjang peringatan Satu Abad NU.
Dikatakan oleh Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf dalam sambutannya, bahwa bagi NU dalam usianya yang 100 tahun adalah usia yang dipenuhi tirakat dari para ulama dan pecintanya, yang tidak pernah berhenti meyakini bahwa Indonesia adalah negeri yang penuh keberkahan.
“Indonesia adalah tanah yang dilimpahi ridha Allah, diberkahi oleh Allah untuk menjadi titik tolak masa depan yang lebih mulia bagi umat manusia,” harapnya.
Presiden Joko Widodo mengungkapkan apresiasinya kepada NU atas perannya untuk bangsa dan negara.
“Keislaman dan keindonesiaan. Keislaman dan kebangsaan. Persatuan dan kesatuan. Serta kerukunan dalam keberagaman. Memasuki abad kedua, insyaAllah NU akan tumbuh semakin kokoh menjadi teladan dalam keberislaman yang moderat,” ucap Jokowi sembari diamini warga NU yang memenuhi Stadion Gelora Delta Sidoarjo.
Namun tak hanya berhenti dalam acara gebyar saja. Di usia 100 tahun hijriah, ormas ini ingin mencatatkan diri memasuki abad keduanya dengan tagline “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru“.
Dikatakan oleh Ketua Panitia Hari Lahir Satu Abad NU, Zannuba Ariffah Chafsoh atau yang dikenal dengan Yenny Wahid, dalam memasuki abad keduanya, NU perlu melakukan kontekstualisasi peran yang akan dijalankan.
“Karena tantangan zamannya sudah berbeda. Dari sejak NU didirikan oleh para muasis (para pendiri) NU dulu, tentu ini harus disesuaikan dengan kondisi zamannya agar NU tetap relevan. Tetap bisa berperan sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia maupun di dunia. Bisa berjuang untuk kepentingan membawa kebaikan di tengah-tengah masyarakat,” papar Yenny ketika ditemui awak media di acara Muktamar Internasional Fikih Peradaban I, di Surabaya, Senin (6/2/2023) pagi.
Muktamar Internasional Fikih Peradaban I yang dihelat oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di salah satu hotel di Surabaya ini merupakan satu rangkaian kegiatan menjelang puncak peringatan Satu Abad NU, yang rencananya akan dilakukan secara rutin setahun sekali untuk ke depannya.
Disampaikan oleh tim pengelola materi Muktamar Internasional Fikih Peradaban I, Ulil Abshar Abdalla, kegiatan muktamar fikih ini adalah kelanjutan dari gawe besar PBNU dengan menginisiasi Religion20 (R20) yang dilaksanakan menjelang G20 pada November 2022 lalu di Nusa Dua, Bali.
Di forum internasional R20, dijelaskan Ulil, PBNU mengundang tokoh-tokoh lintas agama dari mancanegara untuk membincangkan kontribusi agama-agama dalam upaya perdamaian dunia. Sedangkan di muktamar fikih pertama ini, NU mengundang 80 tokoh ulama dari 23 negara di dunia Islam. Tema yang diusung hampir sama, tentang perdamaian dunia, namun dalam perspektif ajaran agama Islam.
“Pokok pikirannya adalah ingin menjadikan tokoh-tokoh agama sebagai aktor penting yang harus diperhitungkan di dalam percaturan geopolitik global. Agama adalah unsur penting yang harus diperhitungkan. Karena di dalam pengelolaan hubungan-hubungan internasional ini, ada suatu kecenderungan di mana tokoh-tokoh agama ini dipinggirkan,” tandas Ulil yang juga Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU ini.
Dilanjutkan Ulil, substansi dari pelaksanaan forum-forum internasional ini adalah pentingnya menegakkan perdamaian dan harmoni global. Ini tujuan besar dari inisiasi dan misi NU untuk masa depan, memasuki kiprahnya di abad yang kedua untuk mengawal perdamaian dunia.
“Masalah riilnya apa? Pertama, sekarang ini ada ancaman terhadap perdamaian global. Karena adanya negara-negara yang bertindak secara unilateral, secara sepihak melakukan tindakan-tindakan invasi, penyerangan terhadap negara lain, mengganggu kedaulatan negara lain, tanpa mengindahkan kesepakatan-kesepakatan internasional yang dicapai melalui lembaga multilateral yang disebut dengan PBB,” ungkapnya.
Keinginan PBNU, sambung Ulil, supaya tokoh-tokoh agama terlibat aktif dalam membincangkan isu-isu internasional sekaligus memberikan sumbangsihnya untuk kepentingan harmoni global.
“Yang kedua, bagaimana peran PBB yang vital mengatur dunia, termasuk dunia Islam dalam sudut pandang fikih? Karena fikih merupakan salah satu tradisi yang penting di dalam kehidupan umat Islam, terutama di kalangan Nahdlatul Ulama. Warga Nahdliyin selalu memandang segala sesuatu selalu dilihat dari legitimasi fikihnya,” ujar Ulil.
Termasuk bagaimana umat Islam memandang PBB dengan berbagai kesepakatan atau konvensi internasionalnya diteken oleh banyak negara, seharusnya benar-benar ditaati oleh negara-negara tersebut.
“Ketika sebuah konvensi PBB ditandatangani oleh pemerintah dari negara yang berpenduduk mayoritas muslim, maka aturan yang ada dalam konvensi itu juga otomatis mengikat umat Islam yang ada di negara tersebut,” ucapnya.
Poin ketiga yang juga menjadi bahan pembahasan dalam Muktamar Internasional Fikih Peradaban I ini, adalah soal bentuk negara yang ideal bagi umat Islam, yang saat ini oleh sebagian kaum muslimin mencoba memunculkan kembali konsep negara khilafah.
“Kalau kita masih mempertahankan rumusan lama dalam tradisi fikih kita ini (tentang ajaran negara khilafah), maka risikonya kita berhadapan dengan kemungkinan adanya chaos atau kekacauan sosial. Misalnya di dalam negara lama ini (khilafah), penduduk yang non muslim itu diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Ini berbeda dengan konsep negara bangsa modern, di mana semua warga negara adalah setara,” pungkas Ulil Abshar Abdalla di konferensi pers penutupan Muktamar Internasional Fikih Peradaban I, Senin (6/7/2023) sore. (ron)