Surabaya, MercuryFM – Sekarang ini sudah jamak dijumpai, seorang siswa sekolah menengah bercengkerama sambil merokok. Ada nuansa ingin meningkatkan rasa percaya diri, menunjukkan eksistensinya sebagai generasi muda, atau ingin diakui sebagai orang dewasa. Banyak yang berasumsi bahwa pergaulan tanpa ditemani sebatang rokok, serasa kurang ideal. Begitulah rata-rata anak remaja mengawali kebiasaannya merokok. Umumnya dimulai dari hanya ingin mencoba-coba. Tanpa mereka sadari, secara bertahap tertanam suatu kebiasaan yang akan menuju pada pintu gerbang efek adiksi/ kecanduan. Sesekali kepulan asap rokok yang mereka hisap, akan diselingi oleh batuk-batuk atau suara serak. Bagi mereka, batuk sudah dianggap sesuatu yang wajar dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebiasaan merokok itu sendiri. Tanpa dibekali literasi yang cukup memadai, sebagian di antara mereka menyarankan pemakaian rokok filter. Bahkan di era sekarang ini, vape/rokok elektrik sudah lazim digunakan sebagai bagian dari pergaulan mereka sehari-hari. Agar merasa lebih “aman” dari gangguan penyakit akibat rokok, begitulah persepsi mereka. Benarkah pendapat tersebut di tengah prevalensi tuberkulosis (TBC) yang menunjukkan tren peningkatan setiap tahunnya ?
Peringatan hari TBC sedunia tiap tanggal 24 Maret, selalu disertai suatu harapan keberhasilan mitigasinya. Tetapi di sisi lain, mesti ada langkah-langkah evaluasinya. Pertanyaan yang selalu terlontar adalah, mengapa pemberantasan TBC sering kali menghadapi jalan terjal dan berliku? Indonesia yang bercita-cita mengeliminasi penderitaan rakyat akibat TBC pada tahun 2030 nanti, menghadapi tantangan dan kendala dari berbagai sektor. Aspek dominan adalah kenyataan riil yang terjadi pada masyarakat itu sendiri. Hampir semua negara di dunia yang mendapat predikat sebagai negara dengan jumlah kasus TBC tertinggi, termasuk Indonesia, memiliki pola kendala yang sama. Negara kita yang saat ini menduduki peringkat kedua setelah India, tak luput dari fenomena penyulit tersebut. Data epidemiologi menunjukkan, mayoritas penyandang TBC cenderung menyasar pada masyarakat dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah. Lebih memprihatinkan lagi, mayoritas segmen populasi tersebut adalah perokok. Melalui berbagai riset ilmiah, banyak bukti yang menunjukkan bahwa TBC dan merokok, saling berkolaborasi mempersulit cara-cara mitigasinya.
Rokok dan kerentanan imunologis terhadap TBC
Saluran napas manusia telah diciptakan secara sempurna oleh Sang Pencipta, guna membentengi terhadap risiko paparan berbagai macam mikroba dari dunia luar. Bila individu tersebut mampu memelihara dengan baik kondisi kesehatan saluran napasnya, niscaya tidak akan mudah mengalami infeksi. Merokok sejatinya merupakan salah satu faktor yang dapat memantik kerusakan integritas saluran napas perokok itu sendiri. Banyak erosi yang terjadi pada lapisan epitel dinding saluran napas yang berfungsi melindungi struktur penting di bawahnya. Sebagian besar cilia yang terdapat pada lapisan epitel, menjadi “gundul”. Cilia ibarat “rambut getar”, berfungsi penting layaknya “sapu”, menyingkirkan berbagai komponen merugikan yang memasuki saluran napas bagian bawah.
Berbagai substansi kimiawi yang terdapat dalam rokok, berpotensi merusak mekanisme pembersihan alami saluran napas terhadap unsur yang merugikan. Itu terjadi pada semua struktur anatomi saluran napas yang diawali dari hidung, dan berujung pada alveolus (gelembung udara tempat terjadinya pertukaran udara pernapasan). Di alveolus terdapat suatu sel imun protektif (disebut makrofag) yang merupakan barier penting terhadap paparan mikroba. Rokok mengakibatkan makrofag menjadi “loyo” dan tidak mampu membunuh Mycobacterium tuberculosis (Mtb), sebagai mikroba penyebab TBC. Alih-alih membunuh Mtb, makrofag yang tidak kompeten malah menjadi “rumah” bagi perkembangbiakan mikroba tersebut. Dari lokus kelemahan sistem imun itu, Mtb bisa menyebar ke seluruh bagian tubuh. Rokok dengan ataupun tanpa filter, serta rokok elektrik, memiliki kemampuan yang sama dalam merusak daya imunitas saluran napas.
Meski peringatan bahaya merokok selalu digaungkan, “anehnya” jumlah perokok di Indonesia justru semakin meningkat saja. Menurut Statista Consumer Insights, pada tahun 2021 terdapat 112 juta perokok di tanah air. Jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah menjadi 123 juta perokok pada tahun 2030. Harapan mengeliminasi TBC yang saat ini jumlah penyandangnya sudah melampaui satu juta kasus, diprediksi akan sulit terwujud pada periode waktu yang sama.
Masalah pelik mitigasi TBC
Pengobatan kasus TBC memerlukan tingkat kepatuhan yang tinggi bagi penyandangnya. Pasalnya memerlukan jangka waktu yang cukup panjang, sekitar enam hingga delapan bulan. Risiko mengalami efek samping obat (ESO), juga mungkin bisa terjadi. Pada hakikatnya, pengobatan bertujuan untuk penyembuhan, sehingga memperkecil peluang terjadinya komplikasi dan kematian. Obat yang tidak rutin dikonsumsi sesuai petunjuk yang benar, memicu kambuhnya penyakit hingga timbulnya Mtb resistan obat (TB-RO). Pengobatannya pun menjadi kian sulit dengan paduan obat yang semakin banyak. Terapinya memerlukan jangka waktu yang jauh lebih lama, hingga 20-24 bulan. Di negara kita, diperkirakan sebanyak 2,5 persen kasus TBC dikategorikan sebagai TB-RO. Bila seseorang tertular dengan TB-RO, berpotensi menimbulkan pola infeksi yang lebih sulit ditanggulangi.
Banyak faktor yang dapat memengaruhi tingkat kepatuhan pada seorang penyandang TBC. Rendahnya status sosial-ekonomi dan tingkat pendidikan, berkorelasi dengan rendahnya pemahaman tentang TBC. Edukasinya pun tidak bisa berjalan dengan mudah. Sangat diperlukan dorongan dari keluarga dan kepedulian masyarakat lainnya. Pasalnya TBC harus dianggap sebagai persoalan populasi, bukan masalah perseorangan belaka.
Kadang kala tidak mudah memastikan diagnosis pada seseorang yang dicurigai tertular TBC. Kuman penyebabnya sangat piawai “bersembunyi” dalam sel-sel jaringan tubuh, sehingga relatif sulit dideteksi. Karena itulah acapkali memerlukan modalitas diagnostik yang relatif rumit, dengan bantuan peralatan yang relatif canggih. Celakanya tidak jarang terjadi, kasus TBC hanya didasarkan atas dugaan semata, tanpa disokong melalui bukti diagnostik yang sahih. Akibatnya mereka harus mengonsumsi obat yang seharusnya tidak perlu.
Aspek preventif
Vaksinasi BCG sebagai satu-satunya vaksin pencegah TBC, sudah lama digunakan di seluruh dunia hingga saat ini. Tetapi daya proteksinya amat terbatas. Hanya bisa mencegah seorang anak, agar tidak jatuh ke dalam kondisi TBC yang parah. Setelah remaja dan pada orang dewasa, daya proteksinya menjadi pupus. Karena itulah dengan pertimbangan berbagai kendala mitigasinya, diperlukan segera riset pengembangan vaksin TBC yang aman dan lebih efektif dibanding BCG. Kita nantikan hasilnya. Semoga konsep mencegah lebih baik daripada mengobati, bisa segera terwujud.(dr.Ari/Red)