Perspektif 96FM : Perlu Cara Agar Produk Lokal tak Terjungkal

Surabaya, MercuryFM – “Perlu Cara Agar Produk Lokal tak Terjungkal” menjadi tema pembahasan dalam Dialog Ekonomi Bisnis 96FM Mercury edisi Jumat (13/10/23). Seperti diinformasikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara terbuka kembali mengungkapkan kegelisahan terkait nasib produk dalam negeri. Melansir Media Indonesia, Mantan Wali Kota Solo itu khawatir, dengan semakin masifnya produk impor yang diperjualbelikan secara mudah kepada konsumen di perdagangan elektronik atau e-commerce.

Presiden Jokowi mengatakan, apabila situasinya dibiarkan, maka masyarakat Indonesia bakal dijajah secara ekonomi. Karena itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini lantas mengajak rakyat Indonesia menjadi produsen, ketimbang hanya sekadar konsumen. “Ini, demi menghindari praktik kolonialisme era modern,” kata Jokowi.

Di satu sisi pernyataan Jokowi itu memberikan sinyal kepada publik, apabila pemerintah ingin membatasi masuknya produk impor ke pasar domestik secara langsung melalui e-commerce.

Menanggapi ini, narasumber tetap Dialog Ekonomi Bisnis 96FM Mercury, Guru Besar (emeritus) Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UBAYA Prof. Wibisono Hardjopranoto mengatakan, yang abadi di dunia itu adalah changes (perubahan). “Perubahan yang menonjol salah satunya adalah yang disebut dengan digital  teknologi dengan kahadiran revolusi industri ada 3.0, 4.0 dan sekarang 5.0,” terang Prof Wibi sapaan akrab Guru Besar FBE UBAYA ini.

Dikaitkan dengan perkembangan informasi beberapa hari belakangan, kata Prof Wibi, sempat ramai diberitakan Tik Tok yang kemudian di banned (dilarang). “Tik Tok sebagai media sosial dilarang jadi instrumen bagi e-commerce,” terang Prof Wibi. Namun menurut Prof Wibi, ada kerancuan terhadap respon yang diberikan oleh masyarakat.

Ada respon yang menurutnya, agak tidak tepat juga. “Karena pelarangan itu, sebenarnya bersifat proporsional. Medsos kok dipakai untuk komersial,” kata Guru Besar FBE UBAYA ini. Prof Wibisono mengatakan, harusnya ada pembatasan diantara keduanya, media sosial dan e-commerce secara baik.

Dengan kata lain, ditertibkan.  Sejauh ini, menurut Prof Wibisono, apa yang dilakukan pemerintah sudah benar. “Pemerintah sudah benar melarang penggabungan Media Sosial dan e-commerce. Media sosial seperti Tik Tok hanya boleh promosi barang. Platform seperti ini dilarang melakukan transaksi,” terang Wibisono Hardjopranoto.

Artinya, kata Prof Wibi, pembedaan antara medsos dan e-commerce itu memang harus dilakukan, jangan dicampur adukkan. “Kalau semua media sosial juga menjadi e-commerce akan kacau. Tidak tertib,” tegas Guru Besar FBE UBAYA ini. Secara pribadi, tegas Prof Wibi, sangat mengapresiasi terhadap pelarangan ini.

Selanjutnya menurut Guru Besar FBE UBAYA ini, apakah benar kalau dengan pelarangan ini akan membuat ukm konvensional ‘tetap hidup,’ seperti yang disuarakan oleh pedagang-pedagang di Tanah Abang, Jakarta.

“Menurut saya bisa salah, juga bisa benar,” kata Wibisono. Karena menurut Prof Wibi, pemerintah itu seharusnya juga melakukan regulasi. “Benar itu. Karena market failure (kegagalan pasar) itu tidak bisa lain, kecuali pemerintah turun tangan. Melalui apa? melalui regulasi, seperti perpajakan dll,” kata Wibisono Hardjopranoto.

Sementara pelarangan atau pembatasan semua produk impor di bawah harga Rp1,5 juta untuk dijual di e-commerce, menurut Wibosono, secara pribadi menjadi pilihan kedua. “Kalau sekarang yang harga Rp1,5 juta kemudian dibatasi, tidak boleh dijual di e-commerce, akan menjadi pilihan kedua buat saya,” kata Prof Wibi. Karena menurutnya, pilihan pertama adalah regulasi. “Bagaimana pemerintah itu, memberikan bantuan kepada umkm kita yang belum ‘melek digital.’ Digital literasinya belum bagus,” terang Guru Besar FBE UBAYA ini.

Karena sebenarnya, dibawah keduanya menurut Prof Wibi adalah daya saing. “Artinya, kalau ukm kita tidak bisa memproduksi barang-barang yang sama, dengan yang diimport dari Tiongkok, ya tidak mungkin bisa bersaing. Barang import dengan harga segitu, termasuk asuransi, biaya pengiriman dll yang harusnya masuk Indonesia dijual lebih mahal, tapi kenyataannya tidak,” terang Prof Wibi.

Sedangkan kita harusnya diuntungkan, karena dekat dengan pembeli. “Tapi, masalahnya itu apakah harga pokok produksi kita, mampu menyaingi harga pokok produksi yang dari Tiongkok. Ini problem daya saing kita,” kata Prof Wibi. Lebih lanjut, Prof Wibi mengatakan, protektif saja tidak cukup untuk melindungi ukm kita. “Harusnya pemerintah itu memfasilitasi digital teknologi kepada umkm,” tegas Prof Wibi.

Nantinya, terang Prof Wibisono, teman-teman yang bergerak di umkm, bisa memiliki digital literasi yang prima. Sehingga, umkm kita, kata Prof Wibi, akan mampu memanfaatkan teknologi ini, untuk kemudian bergerak lebih baik. “Tapi juga dengan catatan, memiliki kemampuan untuk menghadirkan barang yang sama, dengan harga yang lebih murah. Atau productnya memiliki atribut lebih bagus, dari yang di import dari Tiongkok,” kata Prof Wibisono Hardjopranoto. (Nla)

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement

Visual Radio

Add New Playlist