Surabaya, MercuryFM – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur meminta pemerintah kembali melakukan telaah lebih mendalam dalam penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) terkait produk tembakau, sebagai aturan turunan UU (UU) Kesehatan. Ada kecenderungan Rancangan PP (RPP) yang kini sedang dibahas justru melenceng dari aturan payung di atasnya dan dinilai memiliki semangat mematikan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Atas hal tersebut, Ketua Umum KADIN Jatim Adik Dwi Putranto mendorong agar pemerintah mengefektifkan saja aturan yang sudah ada. Yaitu, PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Hal itu jauh lebih baik, ketimbang membuat aturan baru, tapi justru berpotensi bertentangan dengan substansi UU di atasnya,� kata Adik, dalam pernyataannya, Selasa (26/9/2023).
Dia lalu memerinci berbagai aturan pelarangan dalam draf Rancangan PP (RPP) sebagaimana telah beredar di publik yang perlu dikaji ulang. Mulai dari larangan penjualan rokok secara eceran, hingga larangan iklan produk tembakau di tempat penjualan, ruang publik, dan internet. Ada pula masuk dalam draf regulasi, dorongan bagi petani untuk alih tanam.
Terkait hal-hal tersebut, Adik mengingatkan, UU Kesehatan tidak menempatkan produk tembakau sebagai komoditas terlarang. Karenanya, lanjut dia, UU yang disahkan di DPR pada Juli 2023 lalu itu juga tidak melarang penjualan maupun promosi produk tembakau.
Tapi, kalau melihat draf RPP yang ada, produk tembakau seolah jadi barang terlarang, disinilah pemerintah perlu menelaah lagi dengan lebih hati-hati,” imbuhnya.
Adik mengungkapkan, cara pandang produk tembakau seakan merupakan barang terlarang sebenarnya sudah muncul saat UU Kesehatan belum disahkan DPR, dan masih berbentuk draf RUU. Publik sempat dikejutkan dengan keberadaan pasal yang menyetarakan produk tembakau dengan narkotika. Pasal tersebut akhirnya didrop setelah mendapat masukan dari sejumlah pihak.
â€�Jadi sudahlah, lebih baik pemerintah kembali saja pada PP yang sudah ada, daripada memaksakan aturan baru yang nantinya justru malah jadi rancu dan tumpang tindih karena dicampur aduk dengan yang lain,” katanya.
Dia lalu mencontohkan, potensi kerancuan yang muncul dari larangan lainnya yang juga termuat dalam draf RPP Kesehatan. Yaitu, larangan mengemas kurang dari 20 batang dalam setiap kemasan produk tembakau berupa rokok.
“Industri selama ini, setting mesin ada yang 10,11,16. Ada yg 20 tapi rokok putih dan itu kecil sekali. Kalau diberlakukan, kami harus mengubah lagi, investasi lagi agar keluar per pax 20 batang. Industri juga harus berhenti untuk menyiapkan setting mesin. Ini bisa tahunan. Bagi kami, semangat yang di bawa RPP ini adalah semangat mematikan. Pelarangan yang cenderung membunuh,” kata Adik.
Di sisi lain, aturan tersebut sebenarnya sudah diatur di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 217 Tahun 2021 sebagai amanat dari UU Cukai Nomor 39 Tahun 2007.
“Ini kan saling bertabrakan nanti regulasinya, sementara UU Kesehatan tidak mengamanahkan soal standarisasi kemasan,” tandas Adik.
Di luar rezim kesehatan, pemerintah sesungguhnya memiliki kepentingan besar menjaga ekosistem pertembakauan dan Industri Hasil Tembakau (IHT). Bisnis pertembakauan dari hulu ke hilir beserta multiplier efeknya telah menjadi tempat bergantung jutaan masyarakat Indonesia. Mulai dari petani tembakau dan cengkeh, pekerja pabrik, pedagang di tingkat retail, pekerja logistik dan transportasi, serta masih banyak sektor lainnya.
“IHT juga telah berkontribusi pada penerimaan negara lewat cukai. Pada 2022 misalnya, hanya dari kontribusi cukai dan belum termasuk pajak-pajak lainnya sumbangsihnya sudah mencapai Rp 218,6 Triliun. Tapi yang didapat teman-teman di ekosistem pertembakauan dan IHT justru tekanan yang terus datang bertubi-tubi, terutama dari pemerintah, itu realitas di lapangan,* ungkap Adik.
Wakil Ketua Umum Bidang Industri Wajib Cukai Kadin Jatim Sulami Bahar mengungkapkan, bahwa RPP turunan UU kesehatan ini sama artinya pemerintah mendorong tumbuhnya rokok ilegal karena kemasan rokok ilegal sebagian besar 20 batang.
“Seakan-akan memberikan karpet merah pada industri rokok ilegal. Kami ingatkan kepada pemerintah, mau dikemanakan industri rokok ini,” tandas Sulami yang juga menjabat sebagai Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Jawa Timur tersebut.
Lebih lanjut ia mengatakan, saat ini kondisi industri hasil tembakau (IHt) di tanah air sudah semakin berat. Bahkan jumlah industrinya dalam setiap tahun mengalami penurunan. Di tahun 2017, jumlah IHT secara nasional mencapai sekitar 4 ribuan industri, sementara saat ini hanya tinggal sekitar seribu industri. Dan Jatim sangat berkepentingan terhadap kemajuan IHT karena sumbangsih IHT Jatim terhadap nasional mencapai 60 persen.
“Saat ini jumlah IHT di Jatim mencapai 538 industri dengan jumlah buruh sekitar 186 ribu tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja tersebut mencapai 60 persen terhadap nasional yang mencapai sekitar 360 ribu tenaga kerja. Adapun jumlah produksi rokok saat ini secara nasional sebesar 364 miliar batang per tahun. Dengan perjalanan waktu jumlah tersebut turun terus,” katanya.
Jika pemerintah memaksa dan tetap mengimplementasikan RPP ini, maka bisa dipastikan akan ada banyak industri hasil tembakau yang akan mengalami gulung tikar. “Pasti akan terjadi gulung tikar. 20 batang itu sangat menakutkan. Harga sangat mahal. Apalagi tidak boleh jual eceran,” kata Sulami.
Jika pabrik banyak yang tutup, maka akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK besar-besaran sehingga akan terjadi gelombang pengangguran. “Sebab tenaga kerja industri rokok ini banyak yang tua dan tidak memiliki skill. Ini bertentangan semangat menciptakan lapangan kerja,” tambah Adik.
Untuk itu, Kadin akan terus bergerak. Dua hari lagi, tepatnya pada hari Jumat (29/2023) Kadin akan melaksanakan sarasehan dengan mengumpulkan seluruh stakeholder terkait. Selanjutnya Kadin Jatim akan melaksanakan hearing dengan DPRD Jatim dan Pemerintah Provinsi Jatim.
“Selanjutnya, kami juga akan berkirim surat ke kementerian terkait hingga ke Presiden. Harapan kami, pemerintah juga memandang persoalan ini dari sisi pengusaha agar lapangan kerja tersedia seperti yang diharapkan,” pungkas Adik.(dan)