Surabaya, MercuryFM- Surabaya Smart City menjadi bahan diskusi dalam forum yang digelar Ngopibareng.id, pada Senin (26/06/2023). Forum tersebut menginisiasi tata kelola jaringan digital kota Surabaya.
Wakil Ketua DPRD Surabaya AH Thony usai menjadi pembicara dalam forum diskusi tersebut mengatakan, dalam tata kelola itu mencakup soal perijinan penyelenggaraan, termasuk maintanance, ditambah dengan pemanfaatannya.
“Nanti kedepan jaringan itu menjadi sesuatu sektor yang strategis dan penting. Sehingga perlu dipikirkan keamanannya,” imbuhnya.
Menurut legislator Fraksi Partai Gerindra itu, keamanan yang dimaksud bagaimana mengantisipasi ketergantungan terhadap jaringan on line.
“Ketika jaringan yang dikendalikan provider tersebut ada kendala bagaimana antisipasinya. Karenanya perlu dibuat dual sistem yang diantaranya tetap mempertahankan sistem manual. Agar Pemkot tidak was-was,” terang AH Thony.
Surabaya tak masuk menjadi smart city versi IMD Smart City Index (SCI) seharusnya menjadi pukulan berat bagi pemerintah. Pasalnya tak masuknya Surabaya menjadi salah smart city menunjukkan ada sesuatu yang salah dengan Kota Surabaya.
“Kami yang ada di pemerintahan menganggap ada variabel peran serta masyarakat yang kurang dalam parameter smart city. Seharusnya smart city memberikan ruang kepada masyarakat agar lebih berdaya,” imbuh AH Thony.
Sementara itu pembicara lainnya, pengamat tata kota dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Putu Rudy mengatakan, jika penilaian smart city versi IMD itu berdasarkan pengalaman warga. Bukan berdasarkan pemerintah sebagai pemberi layanan. Misalnya saja, layanan kependudukan bisa dilakukan secara online, tapi seberapa jauh warga sudah menggunakan ini.
“Warga tahu ada layanan kependudukan online. Tapi mereka tak menggunakan karena tak reliable atau warga tak affordable (mampu) menggunakan karena internetnya mahal. Itu sudah memberikan penilaian buruk bagi IMD,” kata Putu.
“Jadi Pak Walikota harusnya tak bilang, ah biar saja, yang penting saya sudah melakukan yang terbaik. Ini menunjukkan Pak Wali tak tahu mengukur layanan kepada warganya,” ujar Putu.
Tak heran jika kemudian di mall layanan publik di Surabaya orang masih berjubel untuk minta layanan administrasi. Dan ini malah menimbulkan inefisiensi.
Kata Putu, seharusnya Pemerintah Kota Surabaya harus mulai menyediakan zona-zona internet gratis untuk warganya untuk mengakses layanan administrasi Pemerintah Kota Surabaya.
“Pemerintah Kota harusnya mengaku jika ternyata layanan ini belum begitu efektif karena belum dikonsumsi optimal oleh warganya,” ujar Putu.
Pembicara lain, Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia, Riant Nugroho menyebut kebijakan publik yang baik adalah bukan bagaimana menghebatkan pemerintah, tapi bagaimana warganya menjadi hebat.
“Kalau orientasinya menghebatkan pemerintah, maka itu seperti pemerintah feodal,” ujar Riant Nugroho.
Salah satu manifestasi “menghebatkan” pemerintah bisa dilihat dari pemerintah daerah yang berlomba untuk mendongkrak Pendapatan Asli
“Sebesar-besarnya mencari pendapatan untuk pemerintah. Padahal di Jepang pemerintah daerah sedang berlomba-lomba menurunkan pajak untuk menarik investasi,” ujarnya.
Jadi, kata Riant, besarnya PAD seharusnya tak menjadi salah satu patokan sebuah pemerintah daerah itu sukses.
Orientasi bagaimana harus membesarkan PAD ini ternyata juga dilakukan oleh Pemerintah Surabaya. Pemerintah Surabaya punya aturan Perwali Nomor 80 Tahun 2016 tentang Pemanfaatan Barang Milik Daerah. Dalam perwali ini mewajibkan para operator untuk membayar sewa kalau menanam dalam tanah kabel fiber optik. Padahal soal harus menyewa jalan untuk menanam kabel fiber optik ini tak dasar hukumnya selain perda itu sendiri.
“Ini yang memberatkan teman-teman pengusaha jasa telekomunikasi di Surabaya untuk menyediakan internet gratis di tempat-tempat publik, seperti sekolah, rumah sakit atau halte-halte,” kata Ketua Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) Jerry Siregar.
Kata Jerry untuk menjadikan Surabaya sebagai smart city, bukan hanya dari pemerintahannya saja. Tapi juga harus dibangun dari warganya yang mempunya smart thinking.
Senada Fajar Aditya Ikhsan, Wakil Ketua Masyarakat Telematika (Mastel) juga menyebut Perwali Nomor 80 Tahun 2016, ada kerancuan antara sewa dan retribusi. Menurutnya kalau sewa maka akan muncul hak dan kewajiban dalamnya. Kalau menurut hukum perdata, barang yang sudah disewakan maka tak bisa disewakan kembali kepada pihak lain.
“Misalnya ada operator A yang sudah menyewa di satu jalan, menjadi pertanyaan mengapa ada operator B yang menyewa juga di jalan yang sama,” ujarnya.
Dari diskusi ini, para narasumber sependapat perlu ada perda baru yaitu “Perda Pengelolaan Jaringan Digital”. (Lam)