Surabaya, MercuryFM – Sebanyak 16 orang calon fasilitator dari pesantren dan Forum Anak beserta 14 stakeholder dari unsur Kemenag dan Dinas P3A dari empat kabupaten/kota maupun provinsi, mengikuti pelatihan yang diadakan UNICEF dan LPKIPI. Pelatihan ini merupakan rangkaian kegiatan yang ada di dalam program “Pencegahan dan penanggulangan kekerasan berbasis Gender (GBV) dan perkawinan anak melalui penguatan norma sosial berbasis masyarakat“.
Program ini merupakan program kerjasama antara Kementerian P3A dan Kementerian Agama Republik Indonesia didukung oleh UNICEF. LPKIPI sendiri ditunjuk UNICEF sebagai pelaksana program ini di empat kabupaten/kota di Jawa Timur yaitu Trenggalek, Kota Malang, Lumajang dan Bondowoso.
Di setiap Kabupaten/Kota terdapat satu Pesantren dan satu Desa sebagai lokus kegiatan. Harapannya, pesantren dan desa yang menjadi lokus bisa menjadi percontohan pesantren dan desa ramah anak.
Penanggung Program Kegiatan Kerjasama LPKIPI dan UNICEF, Wasis Jatmiko Aji mengatakan, ada beberapa hal yang dibahas dalam pelatihan. Beberapa diantaranya adalah mempelajari Modul PKH dengan menggali isu-isu kesehatan dan lingkungan, bagaimana bekerja dengan remaja, menggali isu-isu PKH di kehidupan remaja khususnya di pesantren, menghadapi era digital abad 21 dan menganalisa permasalahan serta bagaimana remaja mengelolanya. Berikutnya merencanakan tindak lanjut di tingkat Forum Anak, kelompok Anak Muda Madrasah dan Pesantren.
Topik Modul PKH dikembangkan berdasarkan penelitian UNICEF yang luas dan pengalaman dalam mengimplementasikan program PKH di negara lain serta di Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut, dikembangkan 13 keterampilan hidup inti dan ini erat kaitannya dengan pendekatan program pendidikan saat ini, yang dipromosikan oleh Kemendikbud; yaitu berkomunikasi, menyelesaikan masalah, bekerja sama, bernegosisasi, mengambil keputusan, menghargai perbedaan, berempati, berpartisipasi, berpikir kritis, kreativitas, mengatur diri sendiri, mengelola stres dan emosi, serta resililen (ketangguhan dan ketahanan).
Selain mendapatkan materi tentang Pendidikan Keterampilan Hidup (PKH), peserta juga mendapatkan materi tentang Perkawinan Anak, Kekerasan Berbasis Gender (KGB) serta Perlindungan dari Eksploitasi dan Perlakuan Salah Seksual (PEPSS).
16 calon Fasilitator yang dilatih nantinya akan memfasilitasi pelatihan kepada 160 agen perubahan dari kalangan santri dan remaja di 4 kabupaten/kota, di mana salah satu tugas dari agen perubahan tersebut adalah menjadi ujung tombak dalam mengkampanyekan materi-materi pencegahan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender dan perkawinan anak.
Chief Field Officer UNICEF, Arie Rukmantara menambahkan, istilah Kekerasan Berbasis Gender (KGB) bagi sebagian besar masyarakat adalah hal yang baru dikenal. KBG adalah tindakan kekerasan yang berlandaskan pada asumsi gender dan atau seksual tertentu.
”Jika ada tindak kekerasan yang ketika ditelusuri lebih dalam ternyata memuat niatan atau maksud yang melecehkan korban berdasarkan asumsi gender dan seksual, maka itulah KBG,” tutur Arie, Kamis (24/3/2022). Bentuk-bentuk KBG di antaranya adalah kekerasan seksual, kekerasan fisik, psikis dan sosial ekonomi, yang sebetulnya sudah banyak dikenal dan diketahui oleh masyarakat tapi akar masalah atau penyebab terjadinya bentuk-bentuk kekerasan itulah yang akan kita pelajari dalam KGB.
”Mengapa UNICEF berkepentingan mengangkat isu ini? Karena kasus kekerasan terhadap anak angkanya masih sangat tinggi, dan 60 persen diantaranya adalah kekerasan seksual,” ujarnya.
Hal penting dalam upaya untuk ikut mencegah dan menangani KGB ini, adalah memperkuat kapasitas anak dan remaja sebagai aktor penting, baik sebagai pelopor yang secara aktif ikut mempromosikan atau mengkampanyekan dunia tanpa kekerasan, termasuk perilaku-perilaku positif serta sebagai pelapor untuk secara aktif ikut mendeteksi secara dini, bila ada teman-temannya yang menjadi korban KBG atau dalam posisi rentan sehingga berisiko mendapatkan KGB.
”Organisasi-organisasi anak dan remaja termasuk pesantren dan madrasah berperan sebagai sumber ilmu dan sumber belajar yang sangat penting, dalam membentuk perilaku dan norma sosial yang positif,” kata Arie. (dan)