Jakarta, MercuryFM – Pernyataan Kandidat Calon Wakil Presiden (Cawapres) Nomor 02, Gibran Rakabumi pada debat Cawapres, Minggu (21/01/24), yang menyebutkan bahwa Indonesia pada masa Presiden Jokowi telah mencapai swasembada beras, dibantah oleh Ketua Badan Anggaran DPRRI Said Abdullah. Pasalnya menurut Said, tidak ada data yang menunjukkan adanya swasembada beras selama kepemimpinan Jokowi.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun 2014 hingga 2023 Indonesia selalu melakukan impor beras. Semisal pada tahun 2014, Indonesia Impor beras 844 ribu ton, tahun 2015 sebanyak 861 ribu ton. Tahun 2018, atau satu tahun menjelang pemilu 2019, Impor beras melonjak menjadi 2,25 juta ton, padahal tahun 2017 impor beras hanya 305 ribu ton.
Hal serupa lanjutnya juga terjadi menjelang pemilu 2024. Impor beras pada tahun 2023 mencapai 3,06 juta ton, impor beras terbesar sepanjang sejarah republik ini berdiri.
Ketua DPD PDI Perjuangan Jatim ini juga mengatakan, berdasarkan data BPS juga, pada tahun 2022 produksi Gabah Kering Giling (GKG) mencapai 54, 75 juta ton, sementara pada tahun 2023, data terakhir yang di sajikan BPS pada Oktober 2023 produksi GKG mencapai 53,63 juta ton. Data ini belum ditambahkan perhitungannya sampai Desember 2023. Artinya produksi GKG sepanjang 2023 potensi lebih besar dari data rilis terakhir BPS.
“Jadi sangat tidak tepat kalau el nino dijadikan rujukan untuk mengungkapkan kebutuhan impor beras dengan skala massif, terbesar dalam sejarah republik ini berdiri. Saya melihat ada indikasi ketidakwajaran dalam hal besarnya volume impor beras pada tahun 2023,” jelasnya.
Politisi asli Sumenep Madura ini juga mengatakan, pada tahun 2020 lalu, dirinya selaku Ketua Banggar sudah mengusulkan kepada pemerintah agar mengubah skema impor. “Saya meminta pemerintah mengubah skema impor komoditas dari sistem kuota menjadi impor dengan model pengenaan tarif,” ucapnya.
Pasalnya kata Said, kebijakan impor dengan sistem kuota syarat dengan upaya memburu rente para pejabat. Bahkan Ombudsman contohnya telah menemukan perbedaan antara dokumen kuota impor bawang dengan realisasi yang lebih besar dari dokumen. Rekomendasi ijin impornya sebesar 560 ratus ribu ton di ratas kemenko perekonomian, tetapi rekomendasi di kementan mencapai 1,2 juta ton.
“Saya pastikan dengan model impor pengenaan tarif, negara lebih banyak untungnya, dan model perburuan rente pada kegiatan impor bisa lebih dikurangi,” tegasnya. Salah satu ketua DPP PDI Perjuangan ini juga menegaskan urusan beras ini menyangkut hajat hidup orang banyak, nasib jutaan petani, bahkan nasib mayoritas rakyat Indonesia, karena menjadikan beras sebagai makanan pokok.
Itulah sebabnya Banggar DPR RI dan pemerintah lanjutnya sejak awal menyepakati negara harus menjamin pangan rakyat termasuk beras. Pasalnya memiliki pengaruh besar atas tingkat kemiskinan mereka dalam bertahan hidup.
“Oleh karena itu, urusan beras data dan kebijakannya jangan dijadikan komoditas politik elektoral, apalagi jika disampaikan dengan tidak jujur, tentu hal itu tidak baik. Bagi pemimpin, berani jujur itu bukan kehebatan, tetapi keharusan, sebab kata-kata dan perbuatannya berpengaruh luas kepada rakyat,” pungkasnya. (ari)