Sby, MercuryFM – Guna senantiasa meberikan rasa dan 1alaamenumbuhkan rasa kepercayaan masyarakat dalam komunikasi risiko di masa pandemi Covid-19, pemerintah seharusnya mengalokasikan dana khusus untuk melakukan proses komunikasi dan penyebaran informasi penanggulangan pandemi Covid-19 di masyarakat.
Dana ini disarankan agar diberikan dan dikelola langsung oleh kelompok-kelompok komunitas, di tingkat-tingkat terkecil di lingkungan masyarakat.
Ketua Pusat Pengembangan Media dan Kehumasan Universitas Airlangga Surabaya Dr. Suko Widodo, Drs, M.Si, mengatakan gagasan tersebut saat menjadi pemateri acara Webinar Geliat Airlangga Seri-16, yang bertajuk Komunikasi sebagai Alat Pencegahan Penyebaran COVID-19 bagi tim promosi kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Rumah Sakit, serta tokoh masyarakat yang tergabung di organisasi masyarakat.
“Pemerintah seharusnya jangan merasa pintar. Serahkan saja sejumlah dana yang dialokasikan untuk komunikasi kepada kelompok-kelompok masyarakat di lingkungan paling bawah seperti NU, Muhammadiyah, Dasa Wisma, RT/RW, Media, dan yang lain-lain, karena mereka yang paling mengetahui dan memiliki cara komunikasi sendiri. Jika ada dukungan finansial yang memadai, maka proses komunikasi itu akan cepat teratasi,” kata Pengamat Komunikasi sekaligus Dosen Pengajar FISIP Universitas Airlangga ini, Selasa (22/12/2020) di Surabaya.
Kelompok-kelompok di tingkatan terkecil di masyarakat ini, dianggap Suko Widodo sebagai pihak yang paling mengetahui bagaimana cara menyebarkan informasi yang tepat kepada lingkungan sekitar mereka. Mereka memiliki informasi dan tahu persis bagaimana komunikasi harus dilakukan.
Menurut Suko Widodo dalam acara yang diinisiasi oleh Geliat Airlangga dan didukung oleh Unicef, saat ini yang terjadi adalah tidak pekanya pemerintah dan tidak percayanya masyarakat dengan hal-hal yang bersifat scientist, sehingga terjadi overload communicated. Akibatnya otoritas tidak dipercaya.
“Sebuah proses komunikasi bukan hanya sekedar mentransfer pesan, tapi juga ada perasaan emosi yang ikut serta di dalamnya. Komunikasi yang dibutuhkan saat ini adalah yang simple, jangan terlalu tinggi sehingga masyarakat paham,” terang Suko Widodo.
Sementara itu Praktisi Komunikasi Risiko Nursila Dewi, menjelaskan pentingnya komunikasi risiko di masa pandemi Covid-19 yang sudah ditetapkan sebagai bencana non alam oleh pemerintah. Penyampaian informasi yang tepat dan cepat selalu diharapkan muncul dan tersedia tepat waktu. Ini dengan melibatkan berbagai pihak serta segera ada pengambilan keputusan, lalu kemudian muncul aksi agar masyarakat terhindar dari kepanikan.
“Komunikasi risiko ini diperlukan agar bisa terbangun kepercayaan, informasi cepat disampaikan, untuk mengomunikasikan ketidakpastian kepada masyarakat, untuk berkoordinasi dengan semua pihak yang terlibat, untuk mengutamakan dan mengupayakan transparansi, proaktif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan,” jelas Nursila Dewi.
“Di berbagai negara ada negara-negara yang pandai mengomunikasikan ketidakpastian, tetapi ada pula negara-negara yang terlalu percaya diri sehingga terjadi ketidakpastian di masyarakat.
Seperti contoh di saat pandemi Covid-19 ada negara yang semula mengumumkan orang yang sehat tidak perlu menggunakan masker, namun kemudian belakangan mengakui bahwa memang semua harus menggunakan masker,” kata Nursila.
menurut Nursila, yang namanya penyakit baru itu tidak akan ada orang tahu bagaimana akhirnya, penyebaran, hingga apa yang akan terjadi kemudian. Sehingga pemerintah agar terus menerus mengomunikasikan ketidakpastian tersebut.
“Dengan begitu kita akan mendapatkan kerjasama yang lebih baik,” tegas Nursila.
Apa yang dijelaskan Suko Widodo juga dikuatkan oleh Praktisi Komunikasi Risiko Nursila Dewi. Menurutnya, dari penelitian kolaborasi yang dilakukan Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dan Savica Consultancy, menunjukkan sebesar 31,50 persen masyarakat memilih kelompok RT/RW sebagai tempat pilihan mendapatkan informasi tentang pandemi Covid-19.
Kelompok RT/RW ini berada di posisi kelima dipilih oleh masyarakat setelah kelompok aparat dan instansi pemerintah (69,80%), tenaga kesehatan (64,40%), tokoh masyarakat (42,10%), dan kelompok akademisi/lembaga penelitian (34,20%).
Dalam penyampaian sesi akhir, Wakil Ketua IV Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Dr. Hendro Wardhono, M.Si menyampaikan yang paling penting dilakukan dalam situasi bencana adalah melakukan risk mapping terlebih dulu.
“Termasuk masalah bagaimana cara komunikasinya. Pemilihan bahasa dan diksi dalam komunikasi tersebut. lalu itu diterapkan dengan mengusung kolaborasi pentahelix penanganan Covid-19, antara pemerintah, masyarakat, akademisi, media, dan kalangan swasta. Jadi tidak bisa berjalan sendiri-sendiri,” jelas Hendro Wardhono.
Hendro menyebutkan mengapa pemilihan bahasa dan diksi dalam sebuah komunikasi bencana sangat penting, pasalnya sebuah informasi yang disampaikan oleh seorang akademisi yang bersumber dari ilmu berdasar riset misalnya, ketika disampaikan secara telanjang dan apa adanya kepada masyarakat tentu akan menghasilkan keresahan.
“Contohnya beberapa waktu lalu beredar kabar akan adanya ancaman tsunami setinggi 20 meter di wilayah pesisir pantai selatan Jawa Timur,” kata Hendro.
Para ahli kebencanaan di negara maju seperti Jepang misalnya, menurut Hendro akan meletakkan proses komunikasi yang tepat dan cepat di tempat teratas dalam upaya penanganan bencana.
“Sehingga yang harus dilakukan dalam pandemi Covid-19 ini adalah sapa dan libatkan. Siapapun harus disapa dan dilibatkan. Tidak selalu orang yang ahli di bidang seperti saya akan dituruti. Serta jangan lupa pemanfaatan sumber daya perempuan. Karena kebanyakan dalam suatu bencana itu yang ada di lokasi itu adalah kaum perempuan. Jadi edukasinya saat ini adalah dititikberatkan epada kelompok-kelompok perempuan. Dalam jurnal-jurnal kebencanaan korban bencana 70 persennya adalah perempuan,” papar Hendro.(Dani)