Surabaya, MercuryFM – Polemik warga Perumahan Darmo Hill dengan pihak developer masuk ke tahapan hearing di DPRD Surabaya pada Selasa (21/5/2024).
Hearing tersebut mengundang warga bersama developer perumahan Darmo Hill, PT. Dharma Bhakti Adijaya, serta jajaran Pemkot Surabaya dari pihak Kelurahan hingga Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Surabaya. Direktur Utama PT. Dharma Bhakti Adijaya, Prasetyo Kartika, didampingi oleh Deddy Prasetyo sebagai perwakilan legal, sementara puluhan warga dan RT setempat hadir dengan kuasa hukumnya, Tito.
Arif Fathoni, ketua Komisi A DPRD Surabaya, bersama beberapa anggota komisi lainnya mencetuskan beberapa solusi untuk menengahi persoalan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) yang sering terjadi terutama di kawasan perumahan elit seperti Darmo Hill. Ia menegaskan bahwa pihak kelurahan harus segera turun tangan untuk memfasilitasi pembentukan lembaga pengelola PSU di Perumahan Darmo Hill, RT04 RW05, Kelurahan/Kecamatan Dukuh Pakis.
Ditemui usai agenda hearing, Arif Fathoni menjelaskan bahwa sesuai dengan Peraturan PUPR No. 10 Tahun 2010, ketika PSU sudah diserahterimakan ke pemerintah kota, maka pengelolaannya harus diserahkan kepada pihak pengelola yang telah disetujui oleh penghuni.
“Hari ini, pengembang sudah menunjuk lembaga pengelola lain, tapi ada warga yang mau membayar IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan) dan ada yang tidak. Artinya, ini terjadi distrust,” imbuhnya.
Pria yang akrab disapa Toni itu menambahkan, meminimalisir potensi kecurigaan dan ketidakpercayaan, Komisi A menyarankan musyawarah. Untuk menunjukkan otentifikasi persetujuan penghuni, maka harus dibuat pernyataan dari masing-masing pemilik rumah.
“Itu menurut kami bisa menjadi solusi untuk mengakhiri ketegangan, ketidakpercayaan, dan tindakan-tindakan yang berpotensi menciptakan disharmonisasi di kota Surabaya,” terangnya.
Komisi A memberi waktu dua minggu kepada pihak kelurahan untuk membentuk, merumuskan, dan memusyawarahkan hal ini.
“Pijakannya jelas, dan di situ ada syarat-syarat, lembaga pengelolaannya bisa apa saja, apakah mau dibentuk oleh RT atau pengembang. Kuncinya tetap dari persetujuan penghuni,” terang Toni.
“Katakanlah ada 400 penghuni, siapa yang mendapat suara mayoritas untuk mengelola, ya harus disepakati sebagai realitas. Kalau kemudian masih ada ketidakpercayaan, hanya kepada Tuhan kita berharap,” imbuh Toni.
Legal officer PT. Dharma Bhakti Adijaya, Deddy Prasetyo menjelaskan, bahwa solusi-solusi yang diberikan oleh Komisi A sebenarnya sama dengan yang sudah pernah ditawarkan kepada warga.
“Warga yang sudah memandatkan kepada kami. Sampai hari ini juga menginginkan pengelolaan dilakukan pihak ketiga yang memiliki profesionalitas dan pengalaman dalam pengelolaan. Kalau dikelola oleh RT, apakah pengurus RT punya kemampuan untuk pengelolaan?” Terangnya.
Deddy menyatakan pihak pengembang tidak mempermasalahkan apabila pengelolaan dilakukan oleh pihak ketiga, namun syaratnya adalah memiliki keterampilan dan pengalaman dalam pengelolaan PSU.
“Jangan sampai menunjuk pengelola yang tidak pernah mengelola perumahan. Itu yang kami sampaikan kepada warga yang masih mau membayar kepada kami,” ujarnya.
Terkait keluhan warga atas pengelola saat ini, Deddy menyatakan pihaknya sudah berupaya untuk bermusyawarah. “Posisi kami secara hukum di MA itu menang, tapi kami tetap ingin mengajak bicara, tapi memang belum ketemu di satu titik,” ujarnya.
Deddy menduga mungkin ada yang memprovokasi warga. “Harapannya, setelah ini mari RT menunjuk pihak ketiga siapa yang berkompeten mengelola perumahan, monggo. Tapi catatannya, sebelum ada kesepakatan, ya masih kami yang menjadi pengelola,” kata Deddy.
“Tidak perlu terlalu menuduh, kami menarik resmi, bahkan warga juga sempat menggunakan security ormas,” tegasnya.
Sementara itu, Tito kuasa hukum pengurus RT04 menyampaikan bahwa persoalan tersebut muncul karena ketidakpercayaan warga kepada pengembang.
“Beberapa pengelolaan yang dilakukan oleh pengembang tidak sesuai dengan yang dijanjikan pada warga saat awal, makanya akhirnya memuncak dan menjadikan warga keberatan tentang IPL meski ada beberapa kali pertemuan,” sebut Tito.
Menurut Tito informasi dari Pemkot Surabaya, PSU itu sudah diserahkan kepada Pemkot, sehingga warga meminta kepada Pemkot selaku pemilik barang untuk digunakan secara mandiri oleh warga. Seperti menarik iuran dari warga dan digunakan untuk warga. Namun yang disayangkan, selama ini tidak ada respons dari Pemkot. Sehingga warga meminta hearing kepada dewan.
Tito menjelaskan, warga sudah menyerahkan pengelolaan kepada pengurus RT. Namun persoalan ini akan dimusyawarahkan lagi, setelah ada pembahasan, ada aturan yang menyatakan harus dikelola oleh sebuah lembaga swadaya, bukan badan usaha seperti PT. Ditambah lagi rekomendasi dari Komisi A.
“Masalah setuju atau tidak, itu kembali ke warga, di sini hanya perwakilan pengurus RT,” katanya.
Untuk kericuhan yang terjadi saat pemasangan portal, Tito menjelaskan itu merupakan keinginan warga untuk menjaga keamanan, karena beberapa kali terjadi kehilangan.
“Sesuai usulan warga, pengurus RT membentuk security, sudah bersurat ke pengembang untuk meminta pos keamanan. Pengembang tidak merespon, akhirnya warga membuat pos sendiri dan memasang portal untuk menyaring keluar masuknya orang. Dan ternyata pada saat pemasangan, ditentang oleh pengembang. Lalu terjadi dorong-mendorong dan perusakan portal,” ungkap Tito.
Tito juga menegaskan tidak ada provokasi dari pihak lain, yang ada adalah warga sudah tidak percaya dengan pengelolaan dari pengembang.
“Pengembang sudah banyak memberikan janji, tapi tidak terjadi sesuai harapan,” pungkasnya. (Lam)