Surabaya, MercuryFM – Program Desa Wisata Agro Desa Wisata Industri Ramah Anak dan Berkebudayaan (Dewa Dewi Rama Daya) yang dijalankan oleh Yayasan Arek Lintang (Alit) Indonesia adalah program yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat desa sekaligus perlindungan anak.
Program yang di Jawa Timur didukung penuh oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur ini, merupakan program bersama Kementerian Desa Pembangunan Desa Tertinggal (PDTT) dan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dikatakan Direktur Eksekutif Alit Indonesia, Yuliati Umrah, saat ini ada 12 desa yang ada di 9 kabupaten/kota di Jatim, Bali dan Flores yang menjadi proyek percontohan.
“Di Jatim ada di kabupaten Pasuruan, Sumenep, Jember, Banyuwangi dan Kota Surabaya sebagai pusat pemasaran, Kota Batu dan Kabupaten Malang. Di Bali ada di kabupaten Gianyar dan di Flores ada di Kabupaten Sika,” terang Yuli dalam siaran persnya, Selasa (20/2/2022).
12 desa tersebut didorong dan diintervensi agar kelompok anak-anak diberdayakan secara ekonomi melalui “Permak Kultur Permanen Agriculture“. Yaitu sebuah pendekatan pertanian yang berbasis organik dan tumpangsari, di mana tanaman endemik dari desa akan dibiakkan secara organik dengan menggunakan metode tumpangsari yang diikuti oleh orang tua dan anak.
Sementara anak diberi intervensi melalui kelas merdeka belajar yang terdiri atas 5 materi utama. Pertama tentang keterampilan hidup yang berbasis kebudayaan, misal kegiatan keterampilan sederhana, literasi digital dan non digital. Kedua pengetahuan tentang sejarah, kebudayaan. Ketiga, tentang simple science (ilmu pengetahuan dasar). Keempat pengembangan olah tubuh seperti kegiatan olahraga tradisional dan olah raga dasar seperti pencak silat.
“Juga kegiatan seni budaya, dimana kegiatan kebudayaan dan pertunjukan lokal terus didorong untuk dikenalkan kepada anak-anak yang mengikuti merdeka belajar. Selain itu, kelima, di kelas merdeka belajar, anak-anak belajar tentang perlindungan anak, di mana semua wilayah destinasi wisata yang berisiko terjadi eksploitasi dan kekerasan terhadap anak-anak. Mereka belajar bagaimana melalukan self protection atau perlindungan diri, apabila ada upaya orang dewasa melalukan penyerangan atau eksploitasi anak,” ungkap Yuliati.
Sedangkan di kelas kebudayaan, remaja desa akan dilibatkan menjadi Duta Dewa Dewi di masing-masing desa. Di setiap desa memiliki 20 duta, di mana mereka akan mengeksplorasi unsur-unsur kebudayaan.
Unsur kebudayaan yang dimaksud meliputi, unsur wareg, yaitu bagaimana tata kelola sumber pangan, tata kelola pangan lokal dan teknologi berbasis kebudayaan. Semua hal tersebut menjadi tantangan yang modern.
“Misal, dulu orang tua memanen singkong dan langsung dijual, maka sekarang anaknya mengolahnya menjadi mocaf yang gluted free yang memiliki harga jual yang tinggi dan kompetitif,” katanya.
Selain itu, juga pemanfaatan tanaman liar yang tidak dipakai menjadi tanaman yang memiliki fungsi ekonomi tinggi. Misalnya gulma yang banyak ditemukan di lereng gunung, ini dipadukan dengan teknologi anak muda yang dikembangkan di kampus.
“Banyak sekali produk yang dihasilkan dari tanaman orang tua yang sudah dimodernisasi oleh anak-anak muda,” tegasnya.
Kendala utama dalam melaksanakan program tersebut, adalah lebih pada mindset anak-anak desa yang mulai terkontaminasi budaya luar. Apalagi bicara kebudayaan kepada anak muda sangat sulit untuk dilakukan, karena bicara kebudayaan selalu dianggap kuno.
“Awalnya sangat sulit dan banyak anak muda yang sudah menolak untuk beraktiftas di desa dan memilih hidup di kota dan bekerja di kota, sehingga lahan lahan pertanian banyak terlantar dan dialih fungsikan sebagai pemukiman, pabrik, hotel itu yang sedang kita hadapi. Dengan program ini pelan-pelan anak muda menemukan aspek yang cukup baik dari tanah mereka yang bisa dikelola dan menghasilka produk agro bernilai ekonomis sangat tinggi,” kata Yuli.
Dukungan yang sama juga diungkapkan oleh Sosiolog dan Kepala Lembaga Transformasi Sosial Ekonomi dan Budaya Universitas Airlangga, Prof Dr. Mustain. Ia mengungkapkan, salah satu yang menjadi kegelisahannya saat ini, adalah anak-anak mulai tercerabut dari akar bangsa sebagai warga desa.
“Mimpi yang dibayangkan ke depan, adalah yang dia lihat di televisi dan media yang tidak mungkin dan hanya utopis. Makanya dengan gerakan Alit ini saya sangat bersemangat dan membackup secara akademis. Khususnya agar desa kembali bangkit, mengembangakan dirinya sebagai orang desa berkultur desa dan berkultur lokal, tetapi berorientasi kosmopolit dan berorientasi modern. Jangan sampai kita berorientasi modern tetapi kehilangan jati diri. Makanya menurut saya, salah satu upaya yang strategis ya program yang digulirkan Alit ini,” tegas Mustain.
Ia menegaskan, hal itu adalah basic culture, modal budaya dasar untuk membangun dan mengembangkan masyarakat desa melalui anak, sehingga ke depan akan sangat kuat.
“Yang saya tahu dan teliti, saat ini mereka mulai bangkit dan bersemangat bahwa aku memiliki kemampuan dan percaya diri. Ini yang sangat penting,” tandasnya.
Di sisi lain, program tersebut juga berkontribusi dalam membangun dan mengembangkan masyarakat untuk percaya diri, menjadi lebih peduli dan lebih sejahtera yang sesuai dengan kondisi sosial budaya desa.
“Yang saya sangat setuju adalah strategi Alit membangun dan mengembangkan dengan potensi yang ada di desa itu sendiri. Itu merupakan salah satu poin penting, agar desa memiliki daya tahan dan imun tinggi dari pengaruh dan sabotase serta gangguan orang lain. Karena desa mempunyai potensi luar biasa. Dan selama ini orang desa yang pekerja keras, tetapi yang menikmati hasil bukan orang desa,” ungkapnya.
Sementara itu, Program Officer Asia Oceania Kindermissionwerk, Claudia Rupp mengungkapkan, melalui program yang digulirkan Alit Indonesia, desa yang didampingi mengalami perkembangan yang sangat cepat. Tidak hanya karena anak-anak berkumpul dan memiliki tempat untuk bermain tetapi yang terlibat orang-orang tua, anak-anak desa, perangkat desa, semuanya bersatu membangun desa, menggali potensi ekonomi yang bisa dikembangkan.
“Ini yang menurut saya betul-betul perlu. Jika ingin berbicara perlindungan dan pengembangan anak, maka butuh sustainable lingkungan yang ramah anak, tidak bisa hanya anak saja tetapi satu desa harus mendukung,” kata Claudia.
Harapan lain diungkapkan oleh salah satu pengusaha asal Surabaya, Andro, bahwa konsep demplot Alit untuk mengembangkan sistem permakurtur di desa, secara bertahap bisa menghasilkan produk yang bernilai secara ekonomi.
“Sehingga saya sebagai pengusaha yang memiliki beberapa peluang pasar, bisa membangun kerja sama dengan masyarakat desa untuk bisa mencari bahan dan hasil pertanian secara langsung. Sehingga kita bisa memotong mata rantai perdagangan yang terlaku panjang untuk memberikan nilai tambah langsung kepada petani di waktu mendatang,” pungkasnya. (dan)