Sby, MercuryFM – Masa Pensiun menjadi salah satu momok paling menakutkan bagi banyak karyawan atau pegawai. Ketakutan karena tidak memiliki kegiatan atau bahkan ketakutan tak bisa kembali bekerja. Untuk itu, perlu persiapan matang agar tidak kaget dan bingung menghadapinya.
Hal inilah yang menjadi pemicu tercetusnya ide membuat perusahaan “Republik Rombeng” oleh Rachmad Hidayat. Dalam acara Online Seminar Solution (OSS) yang digelar Kadin Jatim bersama Aptiknas, Kadin Institute dan Arebi di akhir pekan kemarin, Cak Dayat, begitu teman-temannya manggil, bercerita sekaligus berbagi pengalamannya dalam menjalankan bisnis yang oleh banyak orang dianggap “remeh” yang ternyata tidak “recehan”.
Cak Dayat mengaku, dari hasil berbisnis “Rombeng” atau barang bekas ini ia bahkan bisa membeli rumah dan tanah. Saat ini, ia masih berkosentrasi pada barang bekas dari jenis kertas. Ini dilatarbelakango oleh banyaknya pabrik kertas yang ada disekitar rumahnya dan mereka butuh pasokan kertas bekas. Sementara untuk mendapatkan pasokan kertas bekas bagi Cak Dayat sangat mudah karena pekerjaannya saat ini menuntutnya untuk berhubungan dengan banyak orang dan instansi.
“Kalau kita tanggap, cepat menangkap kesempatan dan pinter menilai, kita akan bisa mendapatkan untung besar dalam bisnis ini. Karena kadang orang jual kertas bekas itu tidak peduli apakah kertasnya dibeli dengan harga murah atau mahal. Mereka hanya ingin kantor mereka bersih. Nah, kalau seperti ini, pasti kita akan untung besar,” ujar Cak Dayat.
Normalnya, ia memberi kertas bekas dengan harga sekitar Rp 2.000 per kilogram dan menjualnya di pabrik kertas dengan harga Rp 3.500 per kilogram. Sehingga ia biasanya mendapat keuntungan sekitar Rp 40 persen hingga 50 persen perse. “Kalau nasib kita bagus keuntungan bisa mencapai 100 persen,” katanya.
Lebih lanjut ia bercerita, berbisnis barang bekas menjadi pilihan baginya dengan melihat banyak faktor. Pertama karena saat ini ia masih harus bekerja di salah satu perusahaan media dan tidak bisa bekerja penuh waktu. Kedua, dana atau investasi yang dibutuhkan sebagai modal awal tidak besar. Saat itu, ia hanya mengeluarkan dana awal sebesar Rp 10 juta untuk memulai bisnis ini enam tahun yang lalu.
“Alhamdulillah, dengan uang itu saya bisa menjalankannya hingga saat ini. Hasil dari laba memang tidak saya gunakan untuk memperbesar usaha, tetapi saya investasikan dalam bentuk lain, saya belikan tanah dan rumah,” ujarnya.
Ia mengaku, awal memulai usaha memang tidak mudah. Jatuh bangun ia lalui. Ditipu orang juga pernah ia alami hingga mengalami kerugian. Tetapi ia terus bangkit karena ia sadar inilah ujian disaat memulai usaha.
“Awal merintis usaha jatuh bangun karena saya belum ngetahui karakter usaha kertas bekas ini seperti apa. Karena kita baru bisa merasakan apakah usaha ini bisa bertahan atau gulung tikar ketika usaha itu berumur 24 bulan atau dua tahun,” tambahnya.
Hanya saja, berbisnis kertas bekas ini memiliki kelemahan karena masih tergantung pada industri kertas bekas. Tidak ada industri skala kecil yang bisa menerima dan mengolahnya. Dan harganya juga naik turun, mengikuti fluktuasi harga kertas dunia.
“Satu lagi yang jadi tantangan dalam bisnis barang bekas ini, yaitu potensi menjadi penadah. Kalau kita tidak jeli melihat, bisa jadi barang yang dijual itu adalah barang curian. Kalau kita tetap mengambilnya, kita bisa berpotensi terseret pada kasus hukum,” ujar Cak Dayat.
Untuk itu, lanjutnya, pebisnis apapun harus terus belajar dari lapangan dan dari pengalaman. “Karena kadang teori di buku dengan di lapangan tidak ketemu. Sementara yang bisa mematangkan kita itu adalah pengalaman di lapangan. Laboratorium kita itu ya lapangan,” tegasnya.
Cak Dayat berharap, bisnis ini akan bisa terus ia jalankan. Karena selain menjadi solusi di saat ia memasuki masa pensiun, juga menjadi solusi persoalan perkotaan yaitu sampah.(Dani)