Surabaya, MercuryFM – Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, demokrasi merupakan pondasi utama yang menjamin kestabilan dan kesehatan sistem politik. Salah satu wujud nyata penerapan demokrasi di Indonesia adalah melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Namun, untuk memastikan Pilkada berjalan sesuai prinsip demokrasi, seluruh proses harus berlangsung adil, transparan, dan beradab.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, Lutfil Hakim, menekankan bahwa kunci utama menjaga integritas Pilkada terletak pada netralitas penyelenggara, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurutnya, kedua lembaga ini harus berperan sebagai wasit yang adil, memberi semua pasangan calon kesempatan yang setara untuk bersaing.
“Netralitas media juga menjadi pilar fundamental dalam demokrasi yang sehat. Media, baik cetak, elektronik, maupun online, memainkan peran penting dalam mengawasi kekuasaan dan menyebarkan informasi kepada publik. Ketika media beroperasi secara independen dan objektif, mereka membantu menjaga proses politik tetap bersih dan akuntabel,” jelas Lutfil Hakim saat Diskusi Terbuka bertema “Mengawal Demokrasi yang Bersih dan Beradab” yang diselenggarakan oleh Sygma Research & Consulting di Aula PWI Jatim Surabaya, Rabu (18/9/2024)
Diskusi ini berfokus pada pentingnya menjaga demokrasi yang bersih dan beradab dalam penyelenggaraan Pilkada. Para pakar dari berbagai bidang menyoroti beberapa isu krusial, mulai dari netralitas penyelenggara, kesetaraan pasangan calon, hingga partisipasi publik dan literasi digital.
Dr. Jamil S.H., M.H., dosen Universitas Bhayangkara Surabaya, menjelaskan pentingnya kerangka hukum yang mendukung Pilkada yang adil. Hal ini mencakup memberikan akses yang sama terhadap fasilitas kampanye dan informasi kepada semua calon. Ia juga menyoroti pentingnya membatasi penggunaan fasilitas negara oleh petahana demi menjaga keadilan kompetisi.
“Kesetaraan pasangan calon adalah elemen penting dalam demokrasi. Setiap pasangan calon harus diberi ruang yang sama untuk menyampaikan visi, misi, dan program kerja mereka. Ini termasuk akses ke media dan ruang publik untuk berdialog dengan masyarakat. Jika salah satu calon lebih diuntungkan karena posisinya sebagai petahana, maka kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu bisa rusak,” jelas Jamil.
Sementara itu, Dr. Drs. Harliantara, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo Surabaya, menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam proses demokrasi. Menurutnya, masyarakat harus diberdayakan melalui pendidikan politik dan literasi digital yang baik.
“Pendidikan politik dan literasi digital yang kuat akan membantu pemilih memahami proses pemilu dan betapa pentingnya suara mereka. Sosialisasi yang melibatkan masyarakat dalam diskusi calon dan kebijakan yang diajukan dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik,” paparnya.
Dr. Umar Sholahuddin, S.Sos., M.Sosio., menambahkan bahwa sistem hukum yang kuat dan independen juga menjadi pilar utama dalam menjaga demokrasi. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran pemilu, korupsi, dan praktik tidak etis harus menjadi prioritas demi menjamin keadilan dalam proses demokrasi.
“Demokrasi bukan hanya soal prosedur, tetapi juga tentang perilaku. Dalam setiap interaksi, baik antarwarga negara maupun antara masyarakat dengan penyelenggara, sikap beradab dan saling menghormati harus ditegakkan. Dengan begitu, suasana kondusif untuk proses pemilu yang sehat dapat tercipta,” ujar Umar.
Pada akhirnya, menjaga demokrasi yang bersih dan beradab dalam Pilkada adalah tanggung jawab bersama. Setiap elemen masyarakat, mulai dari penyelenggara, pasangan calon, hingga publik, memiliki peran penting dalam memastikan proses pemilu yang adil dan transparan.
“Dengan menekankan netralitas, kesetaraan, partisipasi publik, sistem hukum yang kuat, dan sikap beradab, kita dapat membangun fondasi demokrasi yang lebih baik untuk masa depan,” pungkas Umar.(dan)