Surabaya,MercuryFM – Beberapa daerah di Indonesia telah melaporkan melonjaknya kasus demam berdarah dengue (DBD). Angka kematiannya pun meningkat, dibanding bulan yang sama pada tahun sebelumnya. Sejatinya rangkaian peristiwa itu tidak terlalu mengejutkan. Lonjakan kasus DBD sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari, karena merupakan masalah rutin di kala musim hujan. DBD juga dikenal memiliki siklus lima tahunan, ditandai dengan jumlah kasusnya yang meningkat tajam, dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebaliknya, hingga kini belum ada kemajuan yang signifikan, bagaimana langkah pemangku kebijakan mampu mencegahnya. Sebagaimana pedoman mitigasi penyakit (terutama penyakit menular), tindakan preventif merupakan metode terpilih yang sudah teruji paling efektif. Karena itu sangat urgen dipertimbangkan percepatan vaksinasi DBD dalam program imunisasi nasional (PIN).
Menurut hemat penulis, program pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang selalu didengungkan, akan sulit direspons warga secara konsisten. Program tersebut akan efektif, bila seluruh warga bisa memahami dan kompak berpartisipasi melaksanakannya. Tidak cukup dengan hangat-hangat tahi ayam, tapi harus berkesinambungan. Misalnya ada satu atau dua rumah di suatu perkampungan padat penduduk yang “lalai”, berimbas memberi kesempatan nyamuk Aedes berkembang biak. Jarak terbangnya yang bisa mencapai 100 meter, berisiko menularkan virus dengue pada warga lainnya yang “disiplin”. Ada kecenderungan masyarakat lebih yakin pada tindakan fogging/pengasapan. Asumsinya, langkah itu dapat memberi jaminan pencegahan penularan DBD. Mereka belum bisa memahami, bahwa tindakan fogging yang rutin dilakukan, malah membuat nyamuk jadi resistan/kebal terhadap insektisida. Dampak buruknya memicu risiko pencemaran lingkungan dan merugikan kesehatan manusia.
Banjir yang terjadi di beberapa wilayah tanah air, memberi kontribusi penting bagi optimalisasi siklus hidup nyamuk Aedes. Berbagai macam barang bekas yang tidak terpakai (misalnya ban bekas, ember, tutup plastik, atau mainan anak), bisa menampung air hujan. Walaupun mungkin volumenya sedikit, sudah merupakan media yang baik bagi nyamuk Aedes untuk bertelur. Pasca hujan, banyak tempat yang bisa dijadikan habitat alami nyamuk tersebut berkembang biak. Misalnya di celah-celah tanaman, lubang pohon, atau tumpukan daun yang membusuk. Nyamuk Aedes sangat menyukai tempat yang relatif gelap, teduh, dan bersuhu hangat. Ekosistem yang ideal, bisa mempercepat siklus hidupnya. Kemampuannya menggigit manusia pun, dapat meningkat hingga beberapa kali lipat. Nyamuk betina memerlukan darah manusia, untuk proses pematangan telurnya.
Perubahan iklim yang memicu terjadinya cuaca ekstrem, disebut-sebut terkait dengan fenomena El Nino. Dampaknya meningkatkan suhu permukaan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, seperti halnya di negara kita. Perubahan ekosistem itu, sangat menguntungkan bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes. Diperkirakan populasinya kian meningkat, mengikuti pola iklim tersebut.
Beberapa waktu yang lalu pemerintah telah berupaya mengendalikan penularan DBD, melalui program nyamuk ber-Wolbachia. Sayang sekali program berbasiskan bioteknologi yang prospektif itu, kurang mendapatkan respons positif dari masyarakat. Bahkan di beberapa daerah, mendapatkan penolakan dari warga setempat. Kurangnya sosialisasi, diduga menjadi penyebabnya. Mempertimbangkan berbagai kendala dalam pengendalian populasi nyamuk Aedes, sudah selayaknya vaksinasi DBD menjadi tumpuan harapan.
Vaksinasi DBD
Hingga kini belum ditemukan pengobatan anti virus yang spesifik untuk DBD. Terapinya hanya bersifat simtomatis saja. Karenanya vaksinasi yang aman dan efektif, harusnya menjadi modalitas pencegahan penyakit menular yang paling bisa diandalkan. Belajar dari dampak buruk akibat pandemi Covid-19, “pernikahan” antara vaksinasi dan protokol kesehatan, telah terbukti memberi solusi.
Di negara-negara endemis DBD, seperti halnya Indonesia, terdapat empat macam (serotipe) virus dengue yang bersirkulasi secara bersama-sama. Seseorang berpotensi terpapar oleh masing-masing jenis virus. Infeksi primer yang terjadi akibat paparan salah satu serotipe virus untuk pertama kalinya, umumnya akan berlangsung ringan. Bahkan sering kali tanpa menimbulkan gejala. Tetapi infeksi yang berulang dengan serotipe virus yang berbeda (infeksi sekunder heterolog), justru bisa memicu dampak klinis yang amat berbahaya. Bentuk komplikasi yang berupa perdarahan dan atau syok, hingga berakhir dengan kematian, mayoritas diakibatkan oleh pola infeksi semacam itu. Fenomena yang amat mengkhawatirkan itu, dikenal dengan sebutan antibody dependent enhancement (ADE).
Di dalam negeri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memberi izin edar untuk vaksin DBD. Meski demikian, belum banyak masyarakat yang telah mengetahuinya. Vaksin generasi pertama telah digunakan sejak tahun 2016. Vaksin tersebut hanya diindikasikan bagi individu yang sudah pernah terpapar infeksi dengue (infeksi primer). Tujuannya untuk mencegah risiko paparan ulang dengan serotipe virus yang berbeda (infeksi sekunder heterolog) yang bisa terjadi setiap saat. Sebelum dilakukan vaksinasi, wajib dilakukan skrining terlebih dahulu untuk mendeteksi keberadaan antibodi anti dengue (seropositif). Langkah tersebut penting untuk mencegah terjadinya ADE. Vaksin generasi pertama, hanya diindikasikan bagi individu berusia 9-16 tahun.
Vaksin generasi kedua telah mendapatkan izin edar pada September 2022. Vaksin yang aman dan efektif ini, tidak memerlukan skrining pra-vaksinasi sebelum digunakan. Diindikasikan untuk mencegah paparan keempat serotipe virus dengue sekaligus, bagi individu yang berusia 6-45 tahun.
Saat ini penggunaan kedua jenis vaksin tersebut, hanya secara mandiri dan harus berbayar. Harganya pun terbilang cukup mahal bagi rata-rata masyarakat Indonesia. Mempertimbangkan urgensi morbiditas dan mortalitas DBD yang semakin menggelisahkan, selayaknya para pemangku kebijakan mengambil opsi mempercepat program vaksinasi DBD dalam PIN.
DBD masih menjadi momok, terutama di kala musim hujan. Tetapi dengan berbagai macam tindakan preventif, termasuk vaksinasi, niscaya dapat menekan dampak buruk akibat penyakit tersebut. Semoga “pernikahan” antara PSN dan vaksinasi DBD segera terwujud.(dr.Ari/red)