Surabaya, MercuryFM – Pemerintah melarang masyarakat mudik lebaran, menyusul belum tuntasnya pandemi Covid-19. Kementerian Perhubungan menyikapi larangan tersebut, dengan tidak mengizinkan seluruh moda transportasi beroperasional selama masa mudik Idulfitri tahun 2021. Hal itu juga dipertegas dengan dikeluarkannya Addendum Surat Edaran Satgas Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021.
Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs. M.Si. menilai, bahwa larangan mudik membatalkan reward sosial yang diinginkan seseorang, untuk bertemu dan melepas kangen bersama keluarga. Di mana saat situasi normal masyarakat mampu merasakan reward itu secara langsung.
“Dalam situasi normal, orang tentu rela mengeluarkan uang dan bercapek-capek untuk bisa mudik. Karena, reward sosialnya itu orang dapat merasakan langsung,” ungkap Bagong Suyanto kepada media pada Sabtu (15/5/2021).
Namun, Bagong menyebut kebijakan larangan mudik saat ini harus dipatuhi. Karena jika tidak, bakal berpotensi membuka kembali gelombang II dan III perluasan Covid-19. Tentu hal tersebut mendatangkan lebih banyak masalah daripada manfaat.
Mudik merupakan tradisi setahun sekali yang telah mengakar di Indonesia. Dengan diberlakukannya larangan mudik oleh pemerintah, menurut Profesor Bagong, pelanggar aturan tidak boleh dinilai sebagai pelanggar hukum. Tapi lebih dipahami sebagai tindakan resistensi.
Sekarang ini, kata dia, banyak cara yang bisa dilakukan untuk bersilaturahmi meski tidak bertemu langsung secara fisik, melainkan secara virtual lewat berbagai aplikasi teknologi informasi.
“Seperti keliling di grup-grup Whatsapp, telepon, atau bahkan video call,” ucap Bagong.
Bagong menambahkan, menyepakati slogan “Mudik akan membunuh orang tuamu” dari Kepala BNPB, Doni Monardo.
“Slogan dari kampanye Pak Doni itu betul. Sekarang, tinggal masing-masing dari pribadi masyarakat Indonesia saja apa mereka ingin membahayakan atau tidak. Toh mereka sudah tahu resikonya,” pungkas Prof Bagong. (alam)