Sby, MercuryFM – Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dinilai tidak melakukan langkah startegis yang komprehensif dalam menangani dampak Covid-19 di Jatim, mulai dari aspek kesehatan, jaring pengaman sosial, hingga pemulihan ekonomi.
”Gubernur gagal menangani pendemi Covid-19. Faktanya angka kasus Covid-19 di Jawa Timur terus naik. Kita mau bilang apa? Secara nasional, total Jawa Timur sekarang rangking kedua. Setelah DKI di urutan pertama, dan melampaui Jawa Barat,” ujar Deni Wicaksono, anggota Komisi E Bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD Jatim, Selasa (12/05/20).
Menurut Deni, dengan refocussing APBD Pemprov Jatim Rp 2,3 triliun, bagi masyarakat di daerah-daerah tidak terasa hentakan kebijakan Gubernur Indah Parawansa untuk menangani pendemi Covid-19. Klaster-klaster baru terus bermunculan di berbagai kabupaten/kota di provinsi ini.
Dari 57 klaster di Jawa Timur, diantaranya yang besar klaster Tenaga Kesehatan Haji Indonesia, pabrik rokok Sampoerna, Temboro Magetan, dan yang terbaru pasar tradisional Bojonegoro.
”Antisipasi Gubernur dan Pemprov Jatim terhadap klaster-klaster besar dirasakan masyarakat di daerah-daerah tidak optimal,” kata Deni yang berasal dari Dapil IX, diantaranya Magetan, Ngawi, Ponorogo, Pacitan, dan Trenggalek.
“Publik menangkap, Gubenur dan Pemprov Jatim hanya sibuk jumpa pers tiap hari di Gedung Negara Grahadi untuk mengabarkan penambahan jumlah pasien. Di lapangan tidak terlihat langkah konkrit yang strategis dan efektif dalam mengerem laju penyebaran Covid-19 di Jawa Timur,” panjutnya.
Politisi muda PDI Perjuangan ini mengingatkan Gubernur Khofifah Indar Parawansa merupakan pemimpin rakyat Jawa Timur.
“Bukan hanya Gubenurnya Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Stop segala pencitraan. Rakyat butuh tindakan konkrit. Sudahilah silang pendapat Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya. Masyarakat tidak perlu ditunjukkan pentas gegeran antar lembaga pemerintahan,” ungkapnya.
Deni juga menyoroti desain kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tidak dikomandoi Pemprov Jatim dengan baik.
”PSBB secara desain kebijakan bagus, tapi implementasinya kacau. Gubernur yang sejak awal ngebet mendorong PSBB Surabaya Raya terlihat tidak siap,” ujarnya.
”Alih-alih sukses mengerem laju penambahan pasien positif, PSBB yang tak dijalankan dengan desain kebijakan terpadu. Mulai aspek medis, protokol kesehatan di seluruh sektor, hingga pemenuhan jaring pengaman sosial, Bagi rakyat, kebijakan ini dirasakan menyengsarakan,” imbuh Deni.
Yang juga disayangkan Deni adalah absennya Pemprov Jatim dalam memandu kolaborasi antardaerah dalam menanggulangi Covid-19. Yang tampak justru sebaliknya. Pemprov Jatim sibuk menyalahkan kabupaten/kota dalam penanganan Covid-19.
”Yang namanya pemimpin tertinggi di sebuah provinsi itu harus ambil tanggung jawab, bukan melempar kesalahan. Pemprov Jatim punya sumberdaya sangat besar, fasilitas kesehatan terbaik di tangan provinsi, duitnya puluhan triliun, seharusnya jangan menyalahkan kabupaten/kota yang dari sisi apapun kalah dari sumberdaya Pemprov,” tegas Deni.
Yang terbaru, misalnya, ketika Khofifah mengkritik APBD kabupaten/kota yang tidak rinci dalam memaparkan mata anggaran penanganan Covid-19.
”Di Jatim, berdasarkan keputusan Menkeu, ada lebih dari 27 kabupaten/kota yang ditunda penyaluran dana alokasi umum dan dana bagi hasilnya. Dampaknya luar biasa bagi daerah, karena duit dari pusat tidak mengucur penuh. Lebih baik Pemprov Jatim membina, mendampingi, agar realokasi APBD sesuai SKB Menkeu dan Mendagri, bukan malah menyalahkan,” ujarnya.
”Ingat, Pemprov Jatim itu membina dan mengkoordinasi kabupaten/kota, bukan seperti pengamat yang mengkritik,” pungkas Deni. (ari)