Surabaya, MercuryFM – Pemerintah telah mengambil kebijakan tegas dengan melarang mudik Lebaran 2021. Ini di lakukan demi mencegah penyebaran Covid-19. Akan tetapi sangat disayangkan, sebagian masyarakat Indonesia masih tetap nekat mudik di tengah kebijakan peniadaan mudik.
Antropolog dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr. Pinky Saptandari mengatakan, bagi masyarakat, lebaran adalah momentum spesial. Tak heran, mereka akan melakukan segala cara agar bisa merayakan Lebaran di kampung halaman.
“Fenomena mudik hanya ada di Indonesia yang begitu kuat dan sangat penting dan lebih dari segala-galanya. Sebagian besar menganggap Idulfitri identik dengan mudik. Gara-gara nafsu mudik yang berlebihan, banyak masyarakat akhirnya nekat melakukan segala cara agar bisa berkumpul bersama keluarga di kampung halaman,” kata Pinky saat dihubungi MercuryFM via telepon di Program Lintas Kota, Selasa siang (11/5/2021).
Ditambahkannya, padahal mudik di tengah tingginya kasus Covid 19 di Indonesia sangat beresiko. Sebab pemudik yang sudah tiba kampung halaman punya dua pilihan, yaitu ditulari atau menularkan Covid-19. Karena itulah, kata Pinky, diperlukan ketegasan dari kepala daerah setempat untuk mengatur pemudik yang nekat tersebut.
“Kepala daerah harus bersikap tegas pada para pemudik yang lolos mudik. Di Kota Solo misalnya, kepala Dderahnya dengan tegas mewajibkan pemudik melakukan karantina,” tukas Akademisi senior FISIP Unair ini.
Karena sudah terlanjur lolos di kampung halaman, dijelaskan Pinky lagi, pemudik pun tetap wajib menerapkan protokol kesehatan dengan disiplin.
Agar Indonesia tidak mengalami kasus seperti di India dan Malaysia, Pinky Saptandari menuturkan, saat ada pemudik yang terdeteksi positif Covid-1, warga dan perangkat daerah setempat juga harus memberlakukan sanksi sosial.
“Di sinilah wajib membuat fungsi pengawasan di tingkat komunitas tempat pemudik, untuk menjalankan fungsi tindakan prefentif dan kuratif. Di sini di perlukan ketegasan, jika ada pemudik yang ketahuan positif Covid-19 harus berani memberikan sanksi sosial untuk melakukan isolasi bagi bersangkutan agar tidak menimbulkan korban yang begitu besar”, tandasnya.
Sementara, terkait diperlukannya upaya konstruksi ulang secara sosial dan budaya yang diejawantahkan dalam kebijakan-kebijakan penanggulangan Covid-19 di Indonesia, Pinky memaparkan, dirinya bersama Asosiasi Antropologi Indonesia baru-baru ini melakukan kajian dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Hasilnya, berdasarkan hasil survei yang dilakukan di lima provinsi yaitu Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Bali menemukan pendekatan larangan mudik yang selama ini dilakukan secara individu ternyata kurang tepat.
“Mudik bukan problem individu, tapi problem komunitas dan problem budaya. Sehingga membutuhkan pendekatan dan cara komunikasi yang harus dilakukan secara berkelompok. Ini persoalan kolektif dan masyarakat lebih memilih nekat kumpul dengan kerabat dan keluarga, dibandingkan kepentingan rasional seperti kesehatan”, pungkas Pinky Saptandari. (yuli)