Jakarta, MercuryFM – Bantuan sosial atau bansos adalah alat negara. Kebijakan dan penganggarannya diputuskan bersama di DPR dan pemerintah yang mewakili seluruh kekuatan politik. Sehingga tidak benar itu kebijakan sendiri seorang Presiden.
Penegasan ini dikatakan ketua Badan Anggaran DPRRI Said Abdullah menyikapai ramainya persoalan bantuan sosial yang saat ini diklaim sebagain pihak kebijakan Presiden. “Sesungguhnya tidak ada satu pihakpun yang berhak mengklaim bahwa program bansos prakarsa atau keberhasilan kelompok tertentu,” ujar Said dalam release resmi yang dikeluarkan, Senin (05/02/23).
Menurut Said, bila presiden berkehendakpun, tanpa persetujuan DPR, tidak akan mungkin ada program bansos. Sebab kebijakan dan anggarannya harus sepersetujuan DPR.
“Bansos sebagai alat negara agar rakyatnya terentas dari kemiskinan, dan menjadi lebih berdaya. Itulah sebabnya di dalam paket paket bansos beragam rupa program, selain bantuan uang tunai, beras, tetapi juga beasiswa, dan uang pra kerja, serta kartu Indonesia sehat,” terangnya.
Orksetrasi kebijakan ini, kata Said, dimaksudkan agar rakyat miskin tidak semata mata di kasih uang dan sembako, tetapi di berikan akses atas pemeliharaan kesehatan. Sebab dengan tubuh yang sehat mereka bisa produktif, anak anaknya diberikan akses terhadap pendidikan.
“Dengan pendidikan yang lebih baik, kelak mereka punya kecakapan, sehingga bisa berbuat produktif, dan berpenghasilan yang lebih baik daripada orang tuanya. Hal ini adalah proses yang panjang, tidak cukup di guyur bansos setahun lalu mereka menjadi tidak miskin semua,” jelasnya.
Melihat hal itu, Said mengaku sedih ketika kebijakan teknokratis yang mulia dari negara kemudian di privatisasi oleh Presiden dan sebagian menterinya, seolah olah budi baik mereka.
“Terus terang saja, melonjaknya anggaran bansos Rp496,8 triliun sungguh mengkhawatirkan dari sisi penyalahgunaan. Pada saat covid-19 saja, di tahun 2020 anggaran perlindungan sosial hanya Rp234,33 triliun dan realisasinya Rp216,59 triliun,” terangnya.
Padahal, tambah politisi PDIP ini, masa Covid-19 ekonomi nasional nyaris berhenti, negara hanya membutuhkan belanja bansos sebesar Rp 216,59 triliun. Saat ini, lanjutnya, situasi perekonomian nasional telah pulih, bahkan sejak 2022 diakui oleh dunia Indonesia bisa pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat akibat pandemi covid19.
“Kenapa anggaran bansos melonjak drastis, bahkan tidak melibatkan kementerian sosial sebagai kementerian teknisnya?,” tanyanya.
Sebagai Ketua Banggar DPRRI, pihaknya sangat prihatin, APBN yang dibahas berbulan bulan yang diniatkan untuk menggerakkan seluruh tujuan pembangunan, memperbaiki infrastruktur, meningkatkan perumahan rakyat, menguatkan kemandirian pangan, energi, meningkatkan industri dan daya saingnya, meningkatkan eskpor, meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan, kesehatan, dan budaya, menghapuskan kemiskinan ekstrim, pemeliharaan keamanan dan pertahanan negara, semuanya di potong dan sebagian anggarannya di relokasi ke bansos menjelang pemilu.
“Saya harapkan APBN 2024 ini kita jaga dengan sebenar benarnya agar sesuai tujuannya. Biarkanlah pemilu ini berjalan secara alamiah, sedemokratis mungkin, berjalan tanpa cawe cawe kekuasaan,” jelasnya.
“Dari pemilu demokratis, pemenang pemilu akan memiliki legitimasi yang kuat memimpin Indonesia. Sebaliknya Indonesia bisa dikucilkan dari pergaulan internasional jika demokrasinya gagal,” lanjutnya.
Pihaknya pun kata Ketua DPD PDI Perjuangan ini, mengetuk hati Presiden, kiranya bisa memberi teladan yang baik bagi semua. Dan dari keteladanan itu, dicatatkan kelak sebagai pemimpinan nasional yang membanggakan kita semua.
“Sedih melihat bapak presiden menurunkan kasta, seolah menggantikan peran menteri sosial, mengurusi teknis perbansosan,” ucapnya.
Dijelaskan Said, program bansos hanya akan tepat sasaran dan memiliki manfaat optimal bagi pengentasan rumah tangga miskin bila dikerjakan oleh tangan tangan teknokrasi yang bekerja sesuai perencanaan, profesional, berintegritas dan tidak ada tunggangan politik.
“Jangan jadikah rakyat miskin kita sebagai dalih untuk mengeruk suara pemilu, seolah olah tampil bak robin hood membagi bagi sembako dan uang tunai tanpa perencanaan yang matang. Padahal cara cara seperti itu tidak akan mengentaskan rakyat miskin keluar dari kubangan kemiskinan, tetapi hanya menjadikan orang miskin sebagai kendaraan politik,” urainya.
Pihaknya pun berharap, seluruh penerima bansos tetap teguh pendirian politiknya. Rakyat miskin tetap bisa berdaulat menentukan pilihan politiknya pada pemilu 2024. Tidak usah khawatir atas ancaman penghapusan data dirinya tidak menerima bansos kelak dikemudian hari.
“Tidak ada kaitannya penentuan hak suara dengan penghapusan bansos. Penentuan hak suara adalah hak politik semua warga negara, dan penerima bansos adalah hak ekonomi warga negara. Keduanya di jamin oleh hukum,” pungkasnya. (ari)