Pengelolaan aset atau Barang Milik Daerah (BMD) merupakan unsur penting bagi pemerintah daerah. Di samping sebagai sarana pelayanan kepada masyarakat, BMD merupakan salah satu aset yang paling vital milik pemerintah daerah guna menunjang operasional jalannya pemerintahan daerah. Sehingga atas dasar itu, keberadaan BMD perlu dipertegas pengelolaannya dan dengan cara tepat.
Political will (kemauan politik pengambil kebijakan) pantas dilakukan, karena paradigma dan ketentuan aturan pengelolaan pemerintahan daerah saat ini menuntut demikian. Keberadaan BMD bukan saja sangat dibutuhkan sebagai nilai tambah atau penunjang pelayanan untuk masyarakat. Lebih dari itu BMD sebagai sumber kekuatan pendulang deviden untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Maka dari itu, pengelolaan BMD harus ditangani dengan benar, supaya aset tersebut dengan nyata menjadi modal awal bagi pemerintah daerah mencukupi kemampuan keuangan daerah. Karena jika meleset, keberadaan BMD justru menjadi beban. Memperhatikan sebagian aset tersebut, pasti butuh perawatan dan lambat laun nilai aset akan terdepresiasi (turun nilai) seiring bergulirnya waktu.
Mencermati BMD posisinya amat strategis dalam mendulang deviden, maka sudah semestinya Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendayagunakan pengelolaan BMD sebagai urutan prioritas dalam menentukan kebijakan untuk ke depan. Jangan sampai aset milik Pemda Jatim yang begitu besar, akan menjadi berantakan akibat faktor pengelolaannya jauh dari takaran serius.
Eksistensi pengelolaan aset Pemprov Jatim
Mengacu Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) APBD tahun 2020 pada pos pendapatan di sektor pendapatan yang dipisahkan, terutama dari pemasukan aset daerah laporannya, jelas tidak membangkitkan kegirangan. Dari postur pendapatan pengelolaan aset daerah yang dipisahkan sebesar Rp417 miliar setelah dikurangi pemasukan deviden dari BUMD, tak lebih dari Rp10 miliar. Pendapatan sekecil itu tentu boleh diraba-raba keganjilannya, karena tidak ekuivalen dengan besarnya nilai aset yang dikelola.
Memang kecilnya deviden tersebut dapat dimaklumi bila menilik pengelolahan terutama aset tanah yang terjadi saat ini. Saya beri salah satu contoh, yaitu pengelolahan aset tanah seluas 6 hektar yang berlokasi di Pare Kediri untuk perkebunan. Berdasarkan hasil kunjungan kerja Komisi C untuk mengoreksi atas kinerja pengelola, besarnya Biasa Operasional (BOP) yang dikeluarkan APBD sebesar 30 juta rupiah, deviden yang di berikan ke PAD hanya sejumlah 10 juta rupiah. Tentu Pemda Jatim menelan kerugian dan kondisi ini amat memprihatinkan, karena deviden tak sebanding dengan modal yang dikeluarkan.
Sebenarnya bila ingin mengukur dan mengetahui seberapa besar aset Pemda Jatim yang dikelola, dapat diterawang dengan mudah. Indikatornya bisa dihitung jumlah bangunan, ditambah luasnya aset berupa tanah, baik yang sudah dimanfaatkan maupun yang masih terlantar. Hampir di tiap-tiap kota dan kabupaten dapat dijumpai berjajar serupa gerbong kereta api. Tentu kondisi tersebut mengundang rasa keprihatinan. Aset daerah yang semestinya dapat digunakan sokongan melayani masyarakat dan sarana pendulang deviden guna meningkatkan PAD, realitasnya sungguh cingkrang.
Komisi C sebagai alat kelengkapan DPRD Jatim yang membidangi Pengelolaan Aset Daerah, selama ini telah melakukan tugas dan fungsinya dengan teliti dan cermat, sebagai alat kontrol dan koreksi atas kinerja penyelenggara pemerintahan daerah dalam mengelola aset milik daerah tersebut. Dari sekian banyak hal yang dilakukan oleh Komisi C untuk mengevaluasi atas kinerja penyelenggara pengelola aset daerah, menurut saya ada beberapa masalah yang krusial mengapa aset milik daerah dampak kemanfaatannya terutama deviden belum optimal:
Pertama, adalah faktor inventarisasi aset atau Barang Milik Daerah (BMD). Berserakannya aset yang belum dimanfaatkan dengan maksimal memungkinkan kenyataan sebagai bukti tidak dilakukannya inventarisasi dengan baik. Saya menyampaikan demikian, mengingat berulang kali Komisi C meminta daftar keseluruhan aset tak diberikan. Padahal, inventarisasi aset amat penting, karena Pemda tidak mungkin bisa merencanakan dengan matang bila tidak mengetahui kondisi riil dari jumlah aset yang dimiliki berupa inventarisasi fisik, yaitu luas maupun lokasi tanah, serta inventarisasi legalitas penguasaan atas aset tersebut.
Kedua, adalah legalitas aset yang dikuasai. Legalitas atau legal standing aset saat ini, masih menjadi masalah yang belum dapat terpampang dengan gamblang. Banyaknya aset terutama tanah yang belum jelas statusnya, tentu menyediakan dampak resiko sosial yang tidak ringan. Artinya, bila persoalan aset terlantarkan atau tidak terurus kejelasan kepemilikan, memungkinkan terjadinya penyerobotan dan menjadi persoalan sosial yang rumit. Kasus di Malang yang diindikasi kuat ada 41 bidang tanah yang dikuasai Pemda Jatim dan saat ini sudah diajukan sertifikat oleh warga, menjadi pelajaran pahit. Kejadian serupa bisa pula sudah muncul di daerah-daerah lainnya.
Ketiga, berkaitan dengan penilaian aset. Bila diajukan pertanyaan, seberapa besar nilai aset yang dimiliki Pemda Jatim jika dinominalkan? Terang saja kalkulasi ini susah dijawab. Padahal, semestinya wajib diketahui dengan pertimbangan, apabila aset tersebut hendak dikerjasamakan mudah untuk diambil keputusan. Bukan cuma itu, dengan mengetahui nilai aset tersebut dapat mengukur nilai kepantasan deviden yang diperoleh. Semisal jika nilai aset dihitung keseluruhan nilai nominalnya Rp 5 triliun, kira-kira apa rasional deviden yang diberikan hanya sebesar 10 miliar rupiah?
Keempat, adalah optimalisasi pemanfaatan aset. Angka nominal deviden berdasarkan data LKPJ APBD Tahun 2020 yang tidak sepadan dengan besarnya aset yang dikuasai Pemda Jatim sejatinya sebagai tolok ukur bahwa tingkat pengelolaan asset milik daerah yang dimanfaatkan oleh Pemda Jatim menunjukkan gambaran kualitas pengelolaannya. Padahal, Pemda diberikan ruang gerak yang leluasa oleh regulasi, yakni PP 28 Tahun 2020 agar dapat dimanfaatkan dan dikerjasamakan dengan pihak lain.
Kelima, sistem pengelolaan aset berbasis IT. Pengembangan pengelolaan berbasis elektrikal perlu dilakukan mempertimbangkan penataan organisasi modern menuntut semua urusan harus berbasis elektrikal. Dengan sistem elektrikal setidaknya pengelolaan aset dapat dilakukan lebih transparan serta dapat termonitor dengan jelas. Disamping itu, memanfaatkan aset untuk dikerjasamakan pada pihak lain dapat diakses dengan mudah dan terbuka. Toh selama ini, masyarakat yang bermaksud hendak mengakses aset daerah terbilang selalu kesulitan. Akibatnya, stakeholder yang berkemauan bekerja sama mendapat hambatan.
Problem solver pengelolaan aset daerah
Gambaran permasalahan di atas adalah realitas buram pengelolaan aset daerah. Sehingga bila sampai Tahun Anggaran 2020 pengelolaannya belum memungut hasil yang memadai tentu boleh terpaksa dimafhumi. Tetapi, membiarkannya sama saja sebagai pilihan menunggu tali-temali benang ketidakmampuan bertambah ruwet.
Berlakunya PP 28 tahun 2020 tentang Pengelolaan Aset atau barang milik daerah sebenarnya dapat digunakan instrumen sebagai jalan keluar untuk melapangkan batu ganjalan dalam pengelolaan aset dimaksud. Karena dalam aturan tersebut Pemda diberi keleluasaan kewenangan melakukan akselerasi mengelola aset dengan sistim kerjasama yang banyak varian; penyewaan, guna serah, bagi hasil, dan lain-lain. Akan tetapi lambannya institusi Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Milik Daerah (BPKAD) merespons amanat regulasi tersebut mengakibatkan perubahan berjalan bak siput. Rendetnya BPKAD merespons berbagai persoalan boleh mungkin akibat beratnya beban yang harus dikerjakan.
Atas kondisi ini, maka sebagai solusi atas lambatnya kerja BPKAD, menurut saya, harus dipisahkan pengelolaannya. Praktisnya, mengelola aset daerah harus berdiri sendiri dan terpisah dengan pengelolaan keuangan daerah.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi celah untuk memisahkannya. Dengan sistem Desentralisasi Pemerintah Daerah diberi kewenangan membentuk penyelenggaraan Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) yang sifatnya urusan wajib maupun urusan pilihan. Lagi-lagi, mengingat pengelolan aset daerah dianggap urusan pilihan urgen dan mendesak, maka atas dasar itu urusan pengelolaan aset daerah dapat dipilih untuk dibuat badan tersendiri agar pengelolaannya dapat lebih fokus dan profesional. Kajian empiris Pemda DKI Jakarta adalah contoh konkretnya.
Sebagai garis bawah tebal sekaligus penutup tulisan ini, bahwa kondisi BPKAD faktualnya menurut saya, sudah terseok-seok karena perbandingan kekuatan di hadapkan beban yang harus dijalankan menjadikannya njomplang. Rancang bangun permulaan membentuk OPD dengan slogan “Ramping Institusi tapi Kaya Fungsi” perlu segera dikoreksi. (red*)