Sby, MercuryFM – Komoditas hasil tembakau, utamanya rokok terus menjadi polemik di tengah masyarakat Indonesia. Keberadaannya dinilai tidak hanya memberikan kemanfaatan ekonomi yang cukup besar terhadap bangsa Indonesia, namun ada dampak negatif yang juga mengintai akibat peredaran Komoditas tersebut, diantaranya adalah kian banyaknya jumlah perokok anak yang ada di Indonesia.
Direktur Eksekutif ALIT Indonesia, Yuliati Umrah mengatakan bahwa tembakau memang tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia. Bahkan keberadaannya telah memberikan kemanfaatan ekonomi yang cukup besar sejak zaman penjajahan. Tetapi yang juga harus diperhatikan adalah bagaimana komoditas tersebut beredar luas tanpa pengawasan sehingga bisa dikonsumsi oleh siapapun, temasuk anak dibawah umur.
Yuli menegaskan bahwa jumlah perokok anak saat ini cukup banyak dan terus bertambah. Pada tahun 2017, jumlah perokok anak mencapai sekitar 7,8 juta anak atau sekitar 9,1 persen. Di tahun 2030, jumlah mereka diperkirakan akan bertambah menjadi 15,8 juta anak atau sekitar 15,81 persen.
“Kita tidak boleh abai karena perokok anak adalah pintu masuk anak mengonsumsi alkohol dan narkoba. Ini tidak hanya soal kemanfaatan saja tetapi juga tentang bagaimana perlindungan anak ditegakkan. Pemerintah harus hadir menjadi penengah atas persoalan ini” Yuliati saat diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Yayasan Alit Indonesia dengan tema “Tembakau dan Produk Turunannya, Serta Implikasinya Pada Perlindungan Anak”, Senin (1/6/2020).
Menurut Yuli, ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, konsistensi pelaksanaan regulasi dan kaidah distribusi. Kedua, pengaturan harga rokok dan mekanisme penjualan yang aman dari jangkauan anak-anak.
Penegakan aturan, ujarnya, perlu menjadi perhatian agar anak tidak menjadi korban substance abuse. Penggunaan rokok pada anak sebenarnya sama kadar “abuse” nya pada anak yang menggunakan alkohol dan obat obatan. Maka pelarangan yang diberlakukan harusnya sama dengan anak yang membeli dan menggunakan bahan-bahan berbahaya atau “substantive” yaitu alkohol, obat obatan/ medicine termasuk jamu dan rokok tanpa pengawasan dokter. Hal tersebut merujuk pada pasal 33 Konvensi Hak Hak anak dimana indonesia telah meratifikasi pada tahun 1989 dan telah mengadopsinya menjadi Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) pada tahun 2002.
“Dan ketiga adalah edukasi manfaat dan bahaya produk turunan tembakau. Ini tidak kalah penting dari sekadar penertiban aturan konsumsi, distribusi, dan harga karena anak-anak harus tahu apa sesungguhnya manfaat dan bahaya produk tembakau, khususnya rokok. Dengan demikian, anak – anak akan mampu mengukur risiko yang ditimbulkan dari konsumsi rokok. Alangkah baiknya jika edukasi dilakukan secara adil. Tidak hanya dari segi kemanfaatan tetapi juga tentang perlindungan anak. Karena masyarakat saat ini terkesan membiarkan perokok anak,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Indonesia (Api) Muhammad Nuruddin mengatakan bahwa keberadaan komoditas tidak bisa dipisahkan dalam sejarah bangsa Indonesia. Tanaman tembakau, ujarnya, telah menjadi tumpuan hidup puluhan juta masyarakat Indonesia.
Saat ini, luas lahan tembakau di Indonesia berada dikisaran 143 ribu hektar hingga 200 ribu hektar yang bisa mempekerjakan sekitar 1,7 juta tenaga kerja (TK). Sementara tenaga kerja yang dipekerjakan oleh industri turunan tembakau mencapai 5,9 juta, industri manufaktur dan distribusi yang terkait tembakau mencapai 4,82 juta.
“Adapun kontribusi produk turunan tembakau, utamanya rokok terhadap devisa negara mencapai Rp 138,69 triliun atau sekitar 96 persen dari total cukai nasional,” katanya.(Dani)